─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───
ARENA balap tidak pernah mengenal kata senyap. Kebisingan tersebut seolah dijaga sebagaimana mestinya, seusai di mana ia berada. Terlebih-lebih lagi dentuman musik mengisolasi mereka yang mampir dengan hanyut di dalam setiap melodi. Menemukan berbotol-botol alkohol pada bar yang disediakan untuk semua pengunjung tanpa peduli umur asalkan pemasukan terus bertambah bukanlah sesuatu yang tabu di sana. Bahkan bila terjadinya transaksi ekstasi orang-orang takkan repot-repot peduli. Toh, bukan urusan mereka.
Oleh karena itu saat Thomas menenggak segelas minuman beralkohol, Alvin menggeleng pelan pada posisi. Setengah jam yang lalu kawannya menelepon untuk sekedar menghabiskan malam minggu, nongkrong di arena balap dan bau pekat alkohol telah menyelimuti temannya itu. “Mau mabok-mabokan lo? Pulang entar gimana, Mas?”
“Nggak tau,” sahutnya tak acuh, menandaskan segelas dan mengisinya sampai setengah sebelum menambahkan lugas. “Nggak peduli.”
Pemuda jangkung itu lantas menyenggol rusuk Daniel yang tengah mengunyah permen. Dengan pandangan penasaran ia bertanya separuh berbisik, “Dia kenapa?”
Daniel melirik Thomas. Laki-laki seputih salju tersebut tampak kacau meski diliputi ketenangan. Ia menggeleng samar, “Bokapnya pulang. Yaa, pasti berantem mereka, gue juga nggak tau masalah tepatnya tapi Thomas langsung maki-maki pas sampe sini.”
Bila diumpamakan, Thomas dan ayahnya serupa Tom dan Jerry. Lantaran pekerjaan sang ayah yang merupakan pilot, mereka jarang sekali bertemu dan sekalinya bersua pun digunakan untuk bertengkar habis-habisan.
“Yoo, Alvin!”
Interupsi menyeru itu sontak menyita perhatian meja mereka dan menemukan Bima berderap mendekat dengan senyum lebar. Mereka bertos ria sebagai tanda pertemanan sebelum laki-laki dengan tindik di telinga itu menatap Alvin. “Lo mau turun nggak malem ini, Vin?”
“Kagak dulu, Bro,” tolak Alvin usai menyesap sebotol susu milik Gerald yang berujung dipelototi sang pemilik. “Lagi rada sensi gue.”
“Sok-sokan sensi. Kayak masker aja lo gue bilang,” balas Bima, mendengus sebal. “Hadiahnya sepuluh juta. Kalau lo ikut terus nambah sejuta. Sebelas jeti lo bawa pulang malem ini. Apa nggak luluh hati lo abis denger ini?”
Alvin tertawa, mengibaskan tangan di udara seraya menyandarkan punggung dan menggeleng lagi. “Kapan-kapanlah, Bim. Nyari lawan yang seru gue.”
“Jessica?” Bima menaikkan alis.
Laki-laki tersebut sontak makin tergelak dan mengirimkan dua anggukan bersama sorot mata lucu. “Ho'oh. Kalau dia turun, gue juga. Teknisnya demikian kalau lo pengen gue turun.”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Princess Troublemaker
Roman pour AdolescentsBagi Bina Bangsa, Jessica merupakan perwujudan nyata dari sebuah ketidakwarasan abadi sekaligus sinting dengan akal minim. Tidak mengherankan lagi menemukan gadis berponi berbingkai wajah serupa boneka tersebut melakukan hal "lucu" berbalut kengeria...