─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───
ORANG-ORANG dulu berkata bahwa rumah adalah tempat paling aman, nyaman dan tepat untuk beristirahat dari berisiknya hiruk-pikuk dunia. Kehangatannya akan mampu meluruhkan segala penat dan lelah tanpa pamrih. Di semua buku, selebaran, iklan atau penjelasan literatur pun mengatakan hal serupa. Rumah adalah tempat kau untuk pulang. Setidaknya itu yang mereka ingin bagikan ke seluruh umat manusia. Tapi sialnya, tidak semua dari mereka memaparkan lebih detail mengenai rumah macam apa yang baik guna menyambut rusaknya jiwa akan permainan benang takdir. Atas segala ujian alam bagi tiap-tiap mereka yang bernapas. Mereka lupa menambah satu paragraf kenyataan bahwa tidak semua rumah itu terasa seperti pulang. Kadang kala justru mirip seperti neraka. Memang tidak panas, namun gelegak amarah yang terus-menerus mendidih, lontaran makian, teriakan melengking, barang demi barang melayang, tuduh menuduh dan sejenisnya. Mana mungkin tempat yang terasa seperti arena peperangan tersebut cocok di katakan sebagai rumah. Yang benar saja. Malah akan membuatmu merasa gerah hanya untuk tinggal satu sekon lebih lama lagi.
Jessica sudah merasakan.
Jessica sudah berusaha kuat memperbaikinya.
Jessica sudah mati-matian bertahan sampai telapak kakinya melepuh.
Jessica sudah berkelana kesana-kemari mencari solusi.
Akan tetapi takdir berkata lain. Takdir tidak ingin Jessica mendapatkannya dengan mudah hingga menjejalinya lebih banyak pil pahit. Kenyataan getir di mana ia harus terima bahwa orang yang selalu berada di sisinya, selalu menasehatinya, selalu memberikan pelukan hangat ternyata menjadi akar dari robohnya rumahnya. Sosok yang ia kira akan selalu menjadi tempat singgahnya kini terdengar seperti dongeng, walau sekuat apapun berusaha untuk menyangkal, Jessica tetap kekal dalam genangan dingin realitas. Sosok yang di janjikan akan ia balas budinya sekarang justru terdengar seperti lelucon, jikalau kini malah Jessica ingin mencabut jantung manusia itu dari tempatnya untuk dijadikan tropi kesialan.
Sekurang-kurangnya, ada hiasan dinding bersejarah untuk di kenang pada tahun-tahun berikutnya.
Namun sial.
Alih-alih berhasil mencabut jantung manusia bajingan itu, Jessica justru berakhir di sini. Dengan tubuh dan pakaian kotor, rambut berantakan dan tangan serta kaki penuh luka bahkan terlihat sisa-sisa darah kering pada kulitnya. Dia terlihat jauh lebih berantakan sekarang di hadapan Bastian yang menganga dari penampilan terakhir nan ia lihat saat di rumah sakit tempo hari.
"Jesㅡ"
"Jawab. Lo mau bawa gue ke Jerman atau nggak?"
Kedatangan sang puan yang tidak terduga itu saja sudah menjadi pukulan telak bagi Bastian nan sedang mempersiapkan keperluannya di negeri seberang. Pemuda ini jelas belum mencerna semua perihal yang terjadi selama bahkan belum genap dua hari, hingga bagaimana bisa sampai di apartemennya sekarang? Terlebih lagi ditodong pertanyaan ini membuat Bastian pening bukan kepalang, "Jes, harusnya lo ngejelasin duluㅡsial, masuk. Gue obatin luka loㅡ"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Princess Troublemaker
أدب المراهقينBagi Bina Bangsa, Jessica merupakan perwujudan nyata dari sebuah ketidakwarasan abadi sekaligus sinting dengan akal minim. Tidak mengherankan lagi menemukan gadis berponi berbingkai wajah serupa boneka tersebut melakukan hal "lucu" berbalut kengeria...