─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───
PEMANDANGAN danau indah, secangkir kopi dan sepirinh roti panggang hangat. Perpaduan ini membuat Jessica merasa jauh lebih hidup di bandingkan yang sudah-sudah. Seolah ia baru saja menjadi manusia seutuhnya sekarang. Sebab sepanjang hidup, baru kali ia tidak bangun dengan beban berat pada pundak. Tidak ada lagi mimpi buruk yang mencekam. Tidak ada lagi sesak dalam dada. Tidak ada lagi pening yang menyerang kepala. Tubuhnya sungguh-sungguh terasa ringan hingga menjalani rutinitas santai begini membuat senyuman manis di bibir terbit dengan begitu cerah. Jessica menghembuskan napas pendek, mengeluarkan ponsel yang Bastian berikan padanya dan mulai memotret tiap sudut tempat nan ia rasa tampak cantik untuk di abadikan oleh kamera ponselnya.
Jessica memang belum sepenuhnya terbiasa. Bahasa dan budaya mereka jelas berbeda dengan keseharian yang dulu biasa ia jalani. Jessica juga belum pernah tinggal begitu lama di negeri orang lain selain hanya singgah guna menemani sang kakek bekerja atau sekadar mencari hiburan semata. Toh, dia bukan tipikal anak yang mudah bersosialisasi. Jadi tidak ayal kalau kegiatan baru berpetualang sendiri begini tak sedikit pun menyulitkannya.
Ini merupakan agenda harian yang menyenangkan untuk ia jalani.
Kendati demikian, bohong besar apabila dia tidak merindukan Demian. Dia benar-benar khawatir akan kondisi sang kakek tetapi kalau-kalau memilih untuk pulang sekarang? Jessica belum sesiap itu. Hatinya masih terluka. Belum sepenuhnya sembuh. Masih sakit jika harus mengingat tiap-tiap momentum yang menyayat hati. Juga rasa bersalah nan menggerogoti tubuh ini, Jessica tidak punya nyali sebesar itu walau sudah berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengucap segala rangkaian kata penyesalan selama enam bulan ini terhadap Eleanor. Ibunya. Korban sesungguhnya dari semua derita selama ini.
Napasnya terhembus berat. Kepalanya mendadak berdenyut-denyut memikirkan bagaimana adegan demi adegan tepat sebelum ia memilih kabur. Semuanya berantakan. Emosinya lagi-lagi menguasai diri saat itu. Namun apabila boleh jujur berkata, jikalau Jessica di kembalikan pada waktu itu, mungkin dia akan tetap memilih pilihan yang sama.
Setidaknya rasa amarah dalam dada bisa berkurang."Oke. Saatnya pulang."
Usai mengemas barang-barangnya, menatap jauh pada air danau yang tenang. Jessica sempat berpikir sejenak kala menginjakkan kaki pertama kali di kota ini enam bulan lalu. Dia berpikir, bila berkaitan dengan Demian, maka hanya akan menunggu waktu sampai ia di temukan dan di bawa pulang. Oleh karena itu hati kecilnya bertanya-tanya, apa yang akan pertama kali ia katakan sewaktu menjumpai Demian usai kabur dengan penuh drama begitu?
Jawabannya tidak ada.
Persis seperti saat ini.
Iris bulatnya menangkap sosok familiar yang tidak jauh dari tempat ia mematung. Jantungnya bertalu-talu bukan main. Dadanya bergemuruh hebat. Rongga matanya memanas luar biasa. Demian berada di sana, bersama sang ibu dan dua kakaknya di belakang punggung yang masih terlihat tegap itu. Jessica merasa kerongkongannya tercekik, napasnya putus-putus dan tabuhan genderan dalam dada makin menjadi-jadi ketika derap langkah Demian lambat laun mendekatinya. Yang lebih tua menatap dengan mata berkaca-kaca, mengulurkan tangan mengusap pipi lawan yang mulai banjir air mata dan meninggalkan kecupan lama di dahi yang paling manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Princess Troublemaker
Novela JuvenilBagi Bina Bangsa, Jessica merupakan perwujudan nyata dari sebuah ketidakwarasan abadi sekaligus sinting dengan akal minim. Tidak mengherankan lagi menemukan gadis berponi berbingkai wajah serupa boneka tersebut melakukan hal "lucu" berbalut kengeria...