༶•┈┈⛧┈♛┈⛧┈┈•༶
SECERCAH harapan yang sang puan manis coba rajut lewat hirupan oksigen jauh lebih bebas dibandingkan orang lain akan menjadi obat saat jemari menggenggam setiap tangkai bunga matahari. Barangkali Sang Mentari pancarkan di cakrawala agung nan memiliki kehangatan sudi berbagai padanya yang masih terjebak di ujung lorong sunyi serta sesak. Maka diri itulah bersama puluhan tangkai pada kungkungan tangan, Jessica mengikat mereka dengan pita sewarna serupa untuk kesayangan hati.Senyuman manis gadis tersebut bersinar cantik menghiasi wajah ketika selesai membuat bucket bunga menuju waktu-waktu spesial begini. “Tante, ini beneran cantik nggak? Walau nggak serapi buatan Tante tapi ini bikinnya pakai hati, kok.”
Maria tersadar dari lamunan dan segera mengulas lengkungan tipis kemudian mengirim satu anggukan. “Cantik, kok,” ujarnya dan berjalan mendekat. “Secantik yang bikinnya,” tambahnya sembari menjawil dagu sang puan. Maria semerta-merta menumpu tangan pada tepian meja selagi Jessica tersenyum malu-malu. “Kamu mau kasih hari ini? Tanggal ulang tahun kamu masih tiga hari lagi, lho, Sayang.”
Merasa setuju dan juga aneh sendiri, Jessica tetap menunjukkan senyuman. “Nggak tau kenapa, maunya cepet-cepet dikasih aja.”
“Okaay,” Maria melipat tangan di depan dada lalu memandang geli gadis muda itu. “dan … kamu nggak sadar bikin dua atau … emang sengaja mau ngasih buat orang lain?”
Jessica lantas menurunkan pandangan pada bucket tulip biru yang juga disusun sedemikian rapi serta indah sesuai tuannya. Dalam beberapa sekon nyata, rona merah muda menjalar menggerayangi pipi chubby sang gadis yang kini melebarkan mata lucu dan buru-buru menyembunyikannya di balik punggung. Dia menggeleng sebegitu panik dan melangkah mundur bersama kekehan sangat canggung kala berujar, “Buat Esie. Esie mau jalanㅡeh, bukan! Mau lombaㅡerr, olimpiade fisika jadi kebetulan senyawa kimia yang dipake Esie, tuh, warnanya biru. Yaudah, aku bikinin tulip biru. Hahaha, iya. Harus cantik dong buat Esie, secantik yang mau nerimanya. Hahaha, iya, begitu.”
Kacau! Gue ngapain, sih?! Ngomong apa lo, Jessicaaaa?! Sinting!
“Okee,” Maria tersenyum penuh makna saat mengangkat tangan ke udara tanda dia takkan bertanya apa-apa lebih lanjut guna menyudutkan lawan bicara. Dia terkekeh geli diam-diam, “Tante percaya. Kamu enggak usah sepanik itu dong.”
Lagi-lagi pemilik obsidian sebulat rembulan kala purnama itu menggeleng dan menunjukkan senyum canggung. “Eng-enggak, kok,” dan mengibas tangan kaku di udara. “siapa yang panik? Biasa gini.”
“Percaya.”
“Tante, aku serius, lho. Ini beneran buat Esie,” kukuh Jessica, ia merasa tengah dipermainkan sekarang oleh sikap Maria yang malah sibuk merangkai bunga pesanan pelanggan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Princess Troublemaker
Teen FictionBagi Bina Bangsa, Jessica merupakan perwujudan nyata dari sebuah ketidakwarasan abadi sekaligus sinting dengan akal minim. Tidak mengherankan lagi menemukan gadis berponi berbingkai wajah serupa boneka tersebut melakukan hal "lucu" berbalut kengeria...