· • —– ٠ ✤ ٠ —– • ·
KAKI-KAKI ramping itu mengayun ringan sedangkan kedua telapak tangan bertumpu pada pembatas atap. Tolong jangan mempermasalahkan Jessica yang duduk di atas sana sementara jarak dia dari tanah adalah 13 meter. Tolong juga jangan khawatir. Kegiatan semacam itu acapkali dilakukan ketika kepalanya terlalu berisik dan benang kusut di dalam tak kunjung bisa ia luruskan. Satu-satunya yang bisa gadis berponi itu lakukan adalah duduk di sana. Membiarkan semilir angin mengusap setiap inci kulit hanya untuk bersikeras mengais sebuah afeksi tentram pada semesta.
Dari gedung utama ini seluruh penjuru Bina Bangsa bisa di nikmati lantaran merupakan bangunan tertinggi. Di barat, beberapa anak memilih tinggal dan bermain basket. Atau banyak yang menyusup ke gelanggang renang untuk mencuri wi-fi yang memang cukup kencang di sana. Well, saking bagusnya interior Bina Bangsa, bahkan ada beberapa pasangan yang menjadikan spot-spot tersudut sekolah menjadi tempat berkencan, ew!
Helaan napasnya terhembus kasar, barangkali ada bongkahan kecil dalam dadanya tersurat getir. Seulas senyuman tercetak tipis tatkala sepasang netra Jessica melihat satu persatu murid dijemput orang tua mereka.
Benaknya sering bertanya, akan sebahagia apa dia kalau berada di posisi mereka?
Dianggap dan tidak ditinggalkan.
Apa hidupnya takkan sehampa ini?
Dulu sekali, ketika Jessica baru saja menginjakkan kakinya di taman kanak-kanak. Sica kecil bingung, mengapa semua orang mendapatkan kotak bekal makan siang yang lucu nan menggemaskan sementara dia tidak? Gadis berponi tersebut juga heran, mengapa ada seseorang yang hangat merengkuh mereka tatkala jam pulang berdering nyaring tetapi dirinya malah menunggu dalam sepi? Sica kecil bingung dan suatu waktu Mama menjawab.
“Sica anak baik, 'kan? Harus ngerti dong Mama sibuk kerja karena kamu?” ujar Eleanor saat Jessica mungil bertanya demikian.
Kini tersadar dari buaian, kalimat itu sepenuhnya menuntut bukan semata-mata menenangkan belaka.
Kekehan getir lolos dengan mudah, mengantarkan afeksi lain dalam relung hati yang menuju kepada kepahitan tak berhingga. Jessica muak, muak sekali. Jessica lelah, lelah bukan main. Namun mau apalagi, mengeluh takkan merubah seluruh skenario hidupnya, memaki keadaan takkan membiarkan dia melenceng dari garis takdir, menangis meraung-raung sekalipun takkan melemparkan dirinya ke hari itu.
Hari di mana bermulanya seluruh luka dan air mata. Hari di mana Jessica berangsur-angsur ditinggalkan dalam duka.
Kepalanya menengadah ke atas lalu memaksakan diri mengulas sebuah senyuman. Luasnya langit biru di atas kepala barangkali sebagai bentuk manifestasi yang memiliki makna, bahwa kesabaran harus seluas dan tak berujung agar mengurangi tindakan-tindakan yang bisa saja disesali kemudian hari. Jessica belum mau setuju lantaran sadar betul kalau sumbu amarahnya pendek bukan kepalang. Yang ia ingin pertanyakan, benarkah langit ada tujuh lapis seperti yang dikatakan orang-orang? Katanya juga setiap lapis memiliki sebuah keistimewaan dan Jessica ingin tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Princess Troublemaker
Genç KurguBagi Bina Bangsa, Jessica merupakan perwujudan nyata dari sebuah ketidakwarasan abadi sekaligus sinting dengan akal minim. Tidak mengherankan lagi menemukan gadis berponi berbingkai wajah serupa boneka tersebut melakukan hal "lucu" berbalut kengeria...