[ O N G O I N G ]
(Book ke-empat)
Jennie elleora, tak menyangka, bahwa kehidupannya akan berubah drastis setelah menerima novel pemberian nenek tua yang sempat ia tolong di cafe tempatnya bekerja
Kehidupannya yang sederhana, berubah dalam satu mal...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
🔹☁🔹
|Restoran mewah itu dipenuhi cahaya lampu kristal yang memantul di dinding serba putih, memberi kesan dingin dan terlalu formal. Namun, di meja pojok dekat jendela besar, hawa yang tercipta jauh lebih panas.
Jennie dan Gema duduk berhadapan. Gema bersandar santai di kursinya, senyum tipis tak pernah lepas dari wajahnya. Sementara Jennie duduk tegak dengan rahang mengeras, matanya tajam bagai pisau.
Ini bukan makan siang. Ini pertempuran tanpa pedang—negosiasi yang dipenuhi sindiran dan jebakan.
“Silakan, Nona CEO.” Suara Gema terdengar ringan, hampir seperti ejekan. Ia mendorong menu ke arah Jennie. “Pilih apa pun yang kau mau. Anggap saja ini sebagai ganti rugi atas kerugian… spiritual yang kau sebabkan.”
Jennie menutup menu tanpa sekalipun melirik isinya. Jemarinya mengetuk meja, dingin dan terukur. “Saya bukan datang untuk makan, Tuan Gema. Saya datang untuk bicara bisnis.”
“Oh, begitu?” Gema mengangkat alis, lalu meletakkan dagunya di atas tangan yang bertumpu di meja. Tatapannya menelusuri wajah Jennie tanpa sungkan. “Jadi, makan siang ini hanya kedok?”
“Anggap saja begitu.” Nada suara Jennie tajam. “Saya tidak mau kerja sama ini dimulai dengan rahasia atau kesalahpahaman. Jadi mari kita luruskan semuanya.”
Gema tersenyum tipis. Senyum yang lebih menyerupai ancaman ketimbang keramahan. “Mari kita luruskan,” ulangnya dengan nada berbisik. “Lalu, hal apa yang ingin kau luruskan? Kejadian di klub malam? Atau… yang di kafe?”
Jennie mengepalkan tangan di bawah meja, buku-bukunya memutih. “Berhenti mempermainkan saya, Tuan Gema. Anda datang ke perusahaan saya, mengganggu rapat saya, dan sekarang membuat saya tidak nyaman. Apa sebenarnya tujuan Anda?”
Alih-alih tersinggung, Gema justru terkekeh pelan. Beberapa pengunjung menoleh karena suara tawa itu begitu santai, namun ada sesuatu yang mengganggu di dalamnya. “Apa yang membuatmu berpikir aku punya tujuan tersembunyi?”
Jennie membalas dengan nada tinggi, tak sanggup lagi menahan diri. “Karena saya tidak bodoh! Anda jelas-jelas sengaja. Mata Anda… cara Anda menatap saya di rapat… itu bukan tatapan bisnis.”
Tawa Gema semakin pelan, namun lebih menusuk. “Kau benar. Aku tidak datang hanya untuk bisnis.”
Ucapan itu seperti pisau dingin yang menusuk dada Jennie. Dadanya naik turun cepat, sementara pikirannya kalut. “Jadi?” tanyanya, suaranya nyaris bergetar.