[ O N G O I N G ]
(Book ke-empat)
Jennie elleora, tak menyangka, bahwa kehidupannya akan berubah drastis setelah menerima novel pemberian nenek tua yang sempat ia tolong di cafe tempatnya bekerja
Kehidupannya yang sederhana, berubah dalam satu mal...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
🔹☁🔹
|Malam itu, Jennie baru saja mengganti blouse kerjanya dengan piyama satin longgar ketika ponselnya bergetar. Notifikasi masuk dari grup chat kecil yang hanya berisi dirinya dan Naya. Naya: Baru dua hari aku nggak ke kantor bareng kamu, eh tiba-tiba ada gosip panas 😏 Katanya direktur muda kita lagi sering barengan sama pria ganteng misterius. Spill dong, Jennie! Jennie menatap layar sambil mendesah. "Astaga, cepat sekali beritanya nyebar." Ia mengetik balasan seadanya. Jennie: Bukan apa-apa. Dia cuma… rekan bisnis.
Balasan Naya masuk dalam hitungan detik, seolah dia sudah menunggu. Naya: Rekan bisnis kok ngajak sarapan, jemput, dan nganterin pulang? Jangan-jangan kamu sudah jatuh duluan, hm? Jennie meraih bantal di sofa dan menekapkannya ke wajah, frustrasi sendiri. Pipinya memanas, bukan karena marah, tapi karena ia tidak tahu bagaimana harus menjawab. Sebelum ia sempat menulis bantahan, panggilan masuk. Nama Naya berkedip di layar. Dengan malas, Jennie mengangkat. "Ya, Naya?" Suara sahabatnya terdengar renyah di seberang. "Cepat ceritakan semuanya. Jangan sok jaim. Aku tahu kamu senyum-senyum sendiri barusan." Jennie mendecak. "Kamu ini kepo sekali." "Ya jelas! Kamu selama ini dingin sama semua pria, eh tiba-tiba ada satu yang berhasil bikin Jennie kita deg-degan. Aku harus seleksi dulu nih, siapa tahu dia brengsek." Jennie terdiam sejenak. Hatinya bergejolak antara ingin mengelak atau jujur. Akhirnya ia hanya bergumam pelan, "Dia… menyebalkan. Tapi… entahlah. Rasanya beda." Naya langsung bersorak. "Tuh kan! Akhirnya juga Jennie kena panah cinta. Aku harus ketemu dia. Besok! Biar aku yang nilai, apakah dia layak atau nggak." Jennie buru-buru menolak. "Hei, jangan macam-macam! Gema itu—" "Ohhh, jadi namanya Gema…" potong Naya cepat, suaranya penuh kemenangan. "Manis sekali namanya. Cocok dengan Jennie." Jennie memukul bantalnya sambil meringis. "Aku menyesal mengangkat telepon ini." "Jangan khawatir, bestie. Aku akan jadi pendukungmu nomor satu. Tapi kalau dia berani macam-macam, aku yang turun tangan. Deal?" Jennie menghela napas, tapi senyum kecil muncul tanpa ia sadari. "Deal." Keesokan paginya di kantor, Jennie baru saja menandatangani beberapa dokumen ketika suara notifikasi chat masuk lagi. Dari Gema. Gema: Sarapan lagi? Atau kali ini aku boleh traktir makan siang? Jennie menatap pesan itu. Dalam benaknya, ia bisa mendengar suara Naya yang menggoda, "Tuh kan, dia terus yang ngejar. Jangan kasih ampun!" Jennie menggelengkan kepala. Ia mengetik balasan dengan cepat, tapi tangannya ragu sebelum menekan tombol kirim.
Ia memikirkan ucapan Naya. Jennie tahu, sahabatnya itu tidak akan membiarkan dirinya jatuh begitu saja ke tangan pria yang salah. Naya adalah sistem pertahanan terbaik yang ia miliki. Tapi di sisi lain, Gema adalah magnet yang sulit dihindari. Ia menyebalkan, tapi juga menarik. Akhirnya, setelah menimbang-nimbang, Jennie menghapus ketikan pertamanya dan menulis ulang. Jeda beberapa detik, lalu ia tekan kirim. Jennie: Maaf, saya sibuk. Dan lain kali, gunakan email. Ini urusan bisnis, Pak Gema. Ia merasa puas. Balasannya singkat, profesional, dan tegas. Sempurna. Ia meletakkan ponselnya, kembali fokus pada dokumen-dokumen di meja. Namun, dalam hitungan detik, ponselnya bergetar lagi. Gema: Oke. Kalau gitu, aku akan mengirimkan email untuk mengajakmu makan malam. Siap-siap, Jennie. Aku tidak menerima penolakan. 😉 Sialan. Jennie mendesah. Pria ini memang tidak bisa ditebak. Dia tidak membalas pesan itu. Jennie tahu, dia tidak punya pilihan. Gema akan selalu menemukan cara untuk mendekatinya. Dan anehnya, jauh di dalam hatinya, ia menantikan saat itu. — Restoran itu ramai, namun suasana tetap terasa hangat dengan cahaya lampu kuning keemasan yang lembut. Jennie duduk berhadapan dengan Gema di meja sudut dekat jendela. Lilin di tengah meja menyala, menciptakan bayangan menari di wajah mereka. Jennie memegang gelasnya, mencoba terlihat santai, padahal di dalam hatinya ia merasa tegang. "Jangan salah paham," kata Jennie sambil meneguk jusnya, mencoba terdengar tegas. "Aku hanya datang karena kamu terlalu keras kepala." Gema tersenyum tipis, matanya berbinar. "Dan aku berterima kasih karena keras kepalaku berhasil." Jennie hendak membalas, tapi tiba-tiba sebuah suara riang yang sangat dikenalnya memecah ketegangan. "Jennieee~!" Jennie menoleh dengan kaget, matanya membelalak. Naya berdiri di sana dengan senyum penuh arti, melambai sambil melangkah ke arah meja mereka. "Kamu... ngapain di sini?" tanya Jennie cepat, nyaris panik. Naya duduk tanpa diminta, tepat di samping Jennie. Ia mengambil menu seolah-olah sudah merencanakan ini sejak lama. "Kebetulan banget, ya. Aku lapar, eh ketemu kalian." Tatapan Jennie menusuk Naya, penuh peringatan. Tapi Naya pura-pura polos. Ia malah mengulurkan tangan ke arah Gema. "Hai, saya Naya. Sahabat dekat Jennie." Gema menyambut jabat tangan itu dengan senyum ramah. "Gema." "Oooh, jadi kamu Gema..." Naya mengedipkan mata ke Jennie, membuat pipi Jennie memanas. "Aku sering dengar nama kamu. Dari seseorang yang belakangan suka senyum-senyum sendiri kalau ada pesan masuk." Jennie nyaris tersedak air minumnya. "Naya!" protesnya, wajahnya merah padam. Gema hanya terkekeh, jelas menikmati situasi. "Oh? Jadi aku sudah jadi bahan gosip di antara kalian?" "Lebih tepatnya, Jennie yang nggak bisa berhenti mikirin kamu," timpal Naya cepat, membuat Jennie menutup wajahnya dengan tangan, berharap bisa menghilang saat itu juga. "Naya, aku sumpah—" Jennie mendesis, tapi sahabatnya hanya tergelak puas. "Tenang, tenang. Aku cuma mau pastikan satu hal," kata Naya, kini menatap Gema serius, nada suaranya berubah tegas. "Kamu niatnya apa sama Jennie?" Jennie membeku, jantungnya berdetak tak karuan. Ia menoleh ke Gema, menunggu jawabannya. Gema menatap lurus pada Naya, lalu melirik sebentar ke arah Jennie dengan senyum kecil yang sulit ditebak. "Niatku sederhana. Aku ingin mengenalnya lebih dalam." Suasana hening beberapa detik. Bahkan Jennie tidak yakin harus merasa lega atau makin cemas. Naya akhirnya tersenyum lebar. "Oke. Aku kasih kamu kesempatan. Tapi kalau kamu bikin Jennie terluka..." Ia mengangkat sendoknya seperti senjata, menunjuk ke arah Gema. "Aku yang turun tangan." Gema terkekeh. "Deal." Jennie hanya bisa menggeleng, malu sekaligus... entah kenapa, hatinya terasa hangat. Ia tahu Naya mungkin berlebihan, tapi ia juga tahu sahabatnya itu tulus melindunginya. Makan malam berlanjut dengan Naya yang mendominasi percakapan. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat Jennie merasa ingin menendangnya di bawah meja, namun juga berhasil mencairkan suasana. Gema menjawab setiap pertanyaan dengan santai, tetapi ada ketulusan yang tersirat di setiap jawabannya. Setelah makan malam selesai, Naya pamit lebih dulu, meninggalkan Jennie dan Gema berdua di luar restoran. "Aku akan membunuh Naya besok," gumam Jennie, menyilangkan tangan di dada. Gema tertawa pelan. "Aku rasa dia penyelamat. Makan malam kita jadi lebih seru." Ia menatap Jennie, matanya dalam. "Dan dia benar." Jennie menoleh, bingung. "Benar apa?" "Tentang kamu yang tidak bisa berhenti memikirkanku," bisik Gema, mencondongkan tubuhnya lebih dekat. "Aku juga begitu. Aku tidak tahu apa yang kau lakukan padaku, Jennie." Jennie terdiam, tidak mampu berkata-kata. Ia bisa merasakan kehangatan yang menjalar di pipinya. "Aku tidak tahu bagaimana semua ini dimulai," lanjut Gema, pandangannya lurus. "Tapi aku tahu aku tidak mau ini berakhir. Kau dan aku, kita... punya sesuatu. Dan aku akan mencari tahu apa itu." Ia mengulurkan tangannya, dan kali ini, tidak ada nada paksaan di sana. Hanya ada ajakan tulus. "Mau jalan-jalan sebentar?" Jennie menatap tangan Gema, lalu menatap matanya. Ia merasakan ketakutan, tetapi juga sebuah dorongan kuat untuk menerima ajakan itu. Ia tahu ini akan mengubah segalanya.