From : ..........
good night honey, how are u now? miss u so bad... (kiss hug)
Al meletakkan kembali hp nya disaku celananya. Nomor tidak dikenal dengan isi pesan yang tidak menarik. Yah, Al memang tipe lelaki yang cuek bahkan ketika banyak gadis yang memuja dan mengejarnya. Siapa yang tidak menginkan menjadi miliknya, ia punya segalanya yang diimpikan semua wanita. Lelaki tampan, cerdas dan kaya raya. Ia juga jarang menunjukkan perilaku yang menyimpang. Ia bahkan tak pernah terlihat menggandeng seorang wanita terkecuali perempuan setengah baya yang merupakan asisten rumah tangga di rumahnya. Siapa yang tidak akan terpikat, ia begitu mempesona ketika tersenyum , bahkan ketika terdiam pun. Namun banyak gadis yang penasaran, bagaimana mungkin si perfect Al tak memiliki kekasih.
Al sendiri tidak tahu mengapa ia tak tertarik dengan satupun diantara gadis cantik yang mengejarnya. Ia tak memberikan kesempatan sama sekali kepada hatinya terbuka untuk wanita-wanita itu. Tapi kini Al merasakan sesuatu yang berbeda. Sejak pertama gadis itu memeluknya menangis malam itu. Gadis rapuh yang mengira dirinya adalah seseorang yang ia tunggu. Gadis yang begitu baik dan peduli pada orang lain. Gadis yang hanya bisa mengatakan dua kalimat luar biasa itu maaf dan terimakasih. Gadis yang sekarang sedikit mengganggu waktu-waktu tenangnya karena memikirkannya, dan gadis yang akhirnya membuatnya ingin bertahan dan tak ingin meninggalkan Indonesia. Gadis itu si Nona Maaf Rahayuki Ajeng.
Verrel mendengus kesal memikirkan nasib dan keadannya saat ini. Ia begitu tidak suka menjadi orang yang harus mematuhi perintah orang lain dan harus pura-pura tersenyum kepada pengunjung. Tiba-tiba matanya tidak sengaja menemukan sosok seeorang disana. Ia menatap orang itu, seseorang yang ia benci, managernya kini. Ajeng sedang berbicara cukup akrab dengan Brandon. Verrrel berpikir keras bagaimana papahnya bisa terjebak dengan gadis itu. Lihatlah, gadis itu hanya cewek miskin tamatan SMA yang sangat biasa-biasa saja. Memang dia sedikit manis, dengan wajah putih tanpa polesan make up tebal. Tapi menurut Verrel, gadis seperti itu tidak boleh menjadi atasannya. Ia jauh lebih baik dari gadis itu. Batin Verrel terus berkecamuk dalam hati.
Verrel bangkit dari tempat duduknya ketika melihat ada seorang pengunjung yang baru masuk, namun terlhat ragu untuk duduk. Pengunjung itu adalah seorang lelaki paruh baya dengan seorang gadis kecil berusia 5 tahun. Verrel mendekati pengunjung itu setelah mendapat aba-aba dari Ajeng untuk melayani pengunjung itu. Verrel jalan terpaksa, mendekatinya dan kemudian bertanya.
"Silahkan duduk, kalian mau pesan apa?" Tanya Verrel dengan raut wajah yang masih sama seperti biasanya, datar. Tidak menunjukkan etika seorang pelayan.Bapak itu terlihat ragu sedangkan anak gadisnya terus saja menarik-narik celana ayahnya.
"Ayo ayah, ayah sudah janji kita akan makan disini." Gadis kecil itu mengangkat wajahnya menatap ayahnya yang terlihat ragu.
"Maaf tuan, saya hanya punya uang segini." Bapak itu memperlihatkan sekumpulan uang recehan seribu dan sekumpulan uang koin dari saku celananya.
"Anak saya sangat ingin makan disini, apa ini cukup?" Bapak itu terlihat ragu, gadis kecilnya mengangguk antusias. Verrel mendengus kesal.
"Aduh Pak kalau uang segitu, jangan makan disini dong, kan banyak warung pinggir jalan. Masa gue harus ngabisin waktu buat ngitungin recehan itu." Gadis kecil itu terlihat cemberut dan memasang wajah sedihnya.
"Ya sudah, ayo nak, ayah sudah bilang kita tidak bisa makan di restoran mewah begini. Nanti saja yah kalau uangnya sudah kita tukarkan. Kita makan di warung saja." Bapak itu membungkuk dan terlihat membujuk anak gadis kecilnya. Gadis kecilnya menolak, air matanya menetes dan terisak.
"Nggak mau, ayah sudah janji. Itu juga tabungan Ana ayah. Ana sangat ingin makan disini." Gadis kecil itu terus menangis. Verrel terlihat sudah mulai gerah dengan adegan itu. Beberapa pengunjung melirik mereka. Ada yang memasang wajah kasihan dan iba, ada juga yang terlihat tak peduli.
"Sudah dong anak kecil, ayahmu nggak punya uang. Pulang saja yah, makan di warung saja." Verrel memberitahu gadis kecil itu dengan nada sedikit kesal.
"Nggak mau. Om pelit." Gadis kecil itu bahkan menangis kecang, air matanya berderai. Ajeng yang sedang mengatur pesanan catering sebuah restoran sontak mencari asal suara tangis itu. Ajeng melangkah mendekati mereka, setelah melihat ada Verrel disana.
"Ada apa gadis cantik? Kenapa menagis?" Ajeng mengusap lengan gadis kecil itu.
"Anuh bu, anak saya mau makan disini tapi kami hanya punya uang ini. Memang tidak sepantasnya kami makan disini dengan membawa uang receh begini. Sudahlah Ana, ayo kita pulang." Bapak itu menarik lengan anaknya. Gadis itu berontak. Ajeng menatap gadis itu dengan iba.
"Aduh, gadis cantik kok nangis, nanti cantiknya hilang loh." Ajeng menghapus air mata gadis kecil itu.
" Siapa nggak boleh makan disini. Masa putri cantik begini nggak boleh makan disini. Ayo duduk sini." Ajeng mengangkat gadis itu duduk di kursi. Perlahan gadis kecil itu berhenti terisak.
"Ayo bapak juga duduk." Ajeng mempersilahkan ayah gadis itu juga duduk. Sang ayah terlihat ragu dan menolak.
"Tapi nona, kami kan?" Sang ayah menunduk memegang uangnya.
"Tidak apa pak. Bapak kan punya uang. Silahkan pesan apa?" Ajeng menatap gadis kecil itu kemudian tersenyum manis. Ajeng membelai rambut panjang gadis kecil itu. Gadis itu membalas senyuman Ajeng.
"Tante cantik, Ana mau tante yang membawakan kami makanannya. Ana nggak mau dengan pria galak dan pelit itu." Gadis itu melihat Verrel. Verrel terlihat sangat kesal. Meninggalkan mereka. Ia sebenarnya ingin melawan, tapi ia menghindari resiko di marahi Ajeng di depan pengunjung lain, tentunya ia lagi yang terlihat sebagai tersangka yang kejam.
"Tentunya, gadis yang cantik harus dilayani sama tante cantik juga kan?" Ajeng mengacak pelan rambut gadis itu kemudian melangkah pergi setelah menuliskan pesanan ayah dan anaknya itu.
Verrel mendekati Ajeng yang sedang menunggu pesanan pengunjung tadi. Verrel mendekatinya.
"Lo tuh yah, mau bikin restoran kita jadi turun pamornya yah. Ini kan restoran elit dan terkenal. Buat apa melayani orang miskin yang mebawa uang receh begitu. Perlu waktu berapa jam buat ngitung itu, trus belum tentu juga cukup. Mau bikin kita rugi?" Verrel terus mendesak Ajeng dengan pertanyaannya. Ajeng sontak menoleh ke Verrel.
"Kenapa tuan manja? Kamu nggak bisa bayangin gimana capeknya ngitung uang recehan itu? Trus coba kamu bayangin, gimana dengan mereka yang tiap hari harus ngumpulin uang recehan itu. Tiap hari mereka mencari recehan itu dijalan, menyimpannya sedikit demi sedikit tiap harinya demi untuk merasakan juga bagaimana rasanya makanan restoran. Bisa? Hah?" Ajeng menatap Verrel lekat dengan nada sedikit penuh amarah.
"Restoran elit? Pamornya bakalan jatuh karena membiarkan orang miskin makan disini? Justru sikap kekanakan dan sombong lu yang bakal menjatuhkan restoran ini. Gue bener-bener nggak bisa bayangin gimana nasib restoran ini jika Pak Bramasta harus meyerahkannya sama bocah manja kayak lo. Mereka memang miskin, tapi mereka kaya hati, nggak kaya lo, nggak punya hati."
Ajeng mengebu-gebu menerjang Verrel dengan kata-kata pedas. Verrel hanya terdiam, terperangah mendengar ucapan Ajeng. Ajeng meninggalkan Verrel dan mengantarkan pesanan ayah dan anak itu. Pandangan Verrel mengikuti langkah Ajeng. Melihat dari jauh, si Nona galak itu tersenyum sangat manis dan lembut pada pengunjungnya itu.
Dia benar-benar bawel dan galak. Tapi kenapa cuma sama gue? Dasar gadis licik, bermuka dua, menyebalkan, galak, bawel, norak, jelek. Eh dia memang sedikit manis, tapi tetap saja jelek di mata gue. Sangat jelek. Batin Verrel
hay readers, balik lagi...update nya agak telat nggak seperti biasa, soalnya listrik di daerah kaka dapat masalah. Mati mulu, ini aja pake generator...but untuk kalian tetep diupdate deh....next???vote dan komen dong!!!

KAMU SEDANG MEMBACA
Arti sahabat ( Arti Cinta)
Roman d'amourini kisah tentang PERSAHABATAN DAN CINTA. dua kata yang berbeda namun memiliki makna yang sama besarnya. SAHABAT DAN CINTA, di dalamnya sama-sama ada sayang, namun dengan racikan yang berbeda. Bagaimana ketika hidup mengaruskan kita memilih, antara...