Chap 25

1.1K 120 6
                                        

Verrel menceburkan dirinya ke kolam. Sudah jam 12 malam, dan ia masih semangat berenang. Ia berenang bolak - balik di kolam sebelum akhirnya menyerah naik ke atas. Ia duduk di tepi kolam, mengatur nafasnya yang terengah-engah. Ia membaringkan tubuhnya di tepi kolam. Tubuhnya yang kekar terpahat sempurna terbungkus dengan hanya celana renang. Verrel mendongakkan kepalanya ke langit, menatap indah lukisan Tuhan yang jarang ia syukuri. Ia melihat satu bintang di sana, dan tiba-tiba wajah Ajeng terbayang olehnya. Semua kata- kata Ajeng kembali terputar di depannya. Tatapan Ajeng kepadanya, dan juga ekspresi sedih Ajeng tadi.

"Agh...Verrel bego!!!" Verrel bangkit dan duduk. Membiarkan kedua tangannya tetap bertumpu di lantai. " Lo bego Rel, kenapa lo harus mikirin cewek itu. Bukankah dia emang kaya gitu. Memanfaatkan semua orang, termasuk bokap lo. Lo jangan tertipu dengan dia." Verrel menutup matanya menggeleng. Tapi rasionalnya kini sedang buntu. Jujur ia khawatir dengan gadis itu tadi. Ia juga sedikit iba mendengar kisahnya. Dan ia juga sedikit geram dengan lelaki di dekatnya tadi.


Al membuang tubuhnya di kasur. Mencoba mengingat kembali apa yang telah ia lakukan dan katakan, sampai Ajeng tidak mengeluarkan sepatah katapun saat turun dari mobilnya, bahkan ucapan maaf dan terimaksih yang selalu ia ucapkan juga tidak. Ajeng hanya turun dari mobil, segera berlalu menuju rumahnya tanpa sepatah katapun.

"Bagaimana kamu bisa begitu bodohnya mengatakan maaf karena telah memeluknya Al. Bukankah memang seharusnya kamu memeluknya, menenangkannya dan menghapus air matanya yang sedang terluka. Kamu bukan hanya peduli Al, tapi sangat peduli dan sangat khawatir dengannya. Kamu hanya takut mengatakan kalau kamu tidak ingin melihatnya bersedih lagi. Kamu hanya takut memeluknya lebih lama lagi. Takut ia tahu kamu begitu khawatir, takut ia mendengar debaran jantungmu. Lalu apa bedanya kamu dengan bocah angkuh itu? Kamu juga pengecut, yang masih bersembunyi dengan perasaanmu." Al menutup matanya, mengangkat tangan kanannya menutupi matanya. Terus bergulat dengan batinnya sendiri.


Ajeng melangkah pelan memasuki rumahnya. Sungguh hari yang berat, mengingat kata- kata Verrel yang sungguh menyakiti hatinya. Mengingat kata- kata Al, yang tidak ia sangka juga sedikit melukai hatinya. Bagaimana bisa, hatinya mengharapkan Al mengatakan yang lain, tapi ia malah mendengar itu dari Al. Maaf karena aku memelukmu. Aku hanya tak bisa melihat gadis dilukai. Kata-kata itu terus menari-nari di benaknya. Saat ia hendak membuka pintu rumahnya, seseorang memanggilnya. Ajeng menoleh tersenyum kepada pemilik suara yang ternyata beberapa ibu-ibu tetangganya.

"Ada apa ibu-ibu? Silahkan masuk" Ajeng melihat ibu-ibu itu yang kemudian jumlahnya bertambah banyak setelah semakin banyak yang berdatangan. Bukan hanya ibu-ibu, bahkan hampir seluruh penghuni kompleks itu telah berkumpul di depan rumahnya.

"Tidak usah masuk. Langsung saja Ajeng, kami ingin kamu meninggalkan rumah ini." Ibu-ibu itu berbicara cukup keras dengan nada tak seperti biasanya ketika menyapa Ajeng.

"Ada apa yah bu? Kenapa saya harus pindah?" Ajeng tetap tenang meski hatinya sudah gelisah dengan keadaan itu.

"Pokoknya lu harus pindah ya. Kami nggak mau kompleks kita tercemari, jangan sampai anak-anak kita ikut-ikutan sama kerjaan lo Ajeng." Sahut ibu-ibu lain yang mendekatinya, menunjuk Ajeng dengan kasar.

"Memangnya saya kenapa? Kenapa dengan kerjaan saya? Kenapa saya bisa mencemari kompleks ini? Salah saya apa bu?" Ajeng mulai tegang.

"Lo itu kan pelacur. Sering bawa gonta ganti cowok kan? Pulangnya selalu malam-malam dianter cowok. Pokoknya pergi lo sana!"

Tanpa terkontrol, beberapa warga sudah masuk ke dalam rumah kontrakan Ajeng. Mengacak-acak lemari Ajeng. Ajeng yang ingin masuk ditahan oleh ibu-ibu yang lain.

"Ada apa ini bu? Pak? Lepas!" Ajeng berusaha melepaskan tangannya, tapi tangan ibu-ibu gemuk itu lebih kuat mencengkramnya. "Ibu, kalian apakan pakaian saya. Kenapa kalian mengacak-acak rumah saya?" Ajeng mengeluarkan air mata. Belum kering tangisnya karena peristiwa tadi, sekarang ia kembali mengeluarkan air mata. Tak ada seorangpun yang membelanya. Beberapa warga memilih diam untuk tidak ikut campur.

"Ini..." seseorang melempar Ajeng dengan tas besar. "Pergi lo sekarang, lo tinggal noh di rumah cowok- cowok lo yang kaya- kaya. Jangan bikin kompleks kita kena musibah karena perempuan kotor kayak lo."

Ajeng mencoba menerka mengapa warga sampai mengatainya seperti itu. Di balik tangisnya, ia mencoba mengingatnya. Memang benar, akhir- akhir ini ia sering pulang larut malam dan juga beberapa lelaki mnegunjunginya di malam hari. Bukan hanya Kevin seperti biasanya, tapi juga Al dan bahkan Pak Bramasta. Tentunya warga curiga, mengingat mereka mengunjungi Ajeng di malam hari dan melihat penampilan mereka yang memang seorang konglomerat dengan kendaraan mobil mewah, kecuali Kevin dengan motor maticnya.

Ajeng memeluk tas itu, duduk tersungkur di lantai. Warga akhirnya pergi dengan membawa kunci kontrakan Ajeng. Ajeng terus menangis, bahkan kini semakin keras. Ia tak tahu harus kemana. Ia tak punya siapapun. Dan ia tak ingin merepotkan sahabatnya.

Ajeng terus melangkah. Ia kini sangat lemah dan rapuh. Semangatnya yang beberapa hari ini mulai bangkit kini kembali ke tahap nol. Sama seperti yang dulu. Ajeng yang kehilangan Yuda. Kehilangan arah dan tujuan hidupnya.

Mengapa berat sekali bagi Ajeng. Untuk melangkahpun sangatlah sulit baginya. Ia begitu membenci kehidupan ini. Jika bukan karena tidak memiliki iman, mungkin ia sudah berakhir di jembatan atau di rel kereta api. Ajeng, apa yang telah dia lakukan sehingga Tuhan menghukumnya begitu berat? Bukankah ia tak pernah jahat pada siapapun. Ia tak pernah melakukan kesalahan pada siapapun. Lalu mengapa hidupnya harus seberat ini? Mengapa Kehidupan tak pernah adil padanya dan selalu menghukumnya.

Ajeng melangkah keluar, bagaimanapun ia harus pergi meninggalkan rumah itu. Semua warga telah menolaknya. Ia Ajeng kembali memandang rumah kontrakan kecil itu. Rumah tempatnya tinggal selama ini selama bertahun-tahun. Ia berpikir, bagaimana jika suatu saat Yuda datang mencarinya dan tak menemukannya di sana? Ajeng menutup matanya, membiarkan air bening itu mengalir deras kemudian membulatkan tekad untuk pergi meninggalkan rumah itu dengan semua kenangannya.

wah,,,kaka semangat kan buat update,,3 chap dalam sehari...eheheh, mumpung lg nggak sibuk, pusing meriksa ulangan siswa yang jawabannya ngaco semua..hehehe

Oke,,di VOMEN yah readers,,,met malam minggu, besok libur!!!yeagh.....





Arti sahabat ( Arti Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang