Ajeng berjalan gontai menyusuri jalan di gelap malam. Dengan beban yang mungkin tak semua orang bisa melaluinya. Ajeng, gadis ceria dan selalu penuh semangat menjalani kehidupannya meski sebatang kara. Namun kehilangan semua senyum dan bahagianya dan menjadi begitu menyedihkan sejak lima tahun lalu. Sejak ia mengisi hidupnya hanya untuk penantian panjangnya. Penantian akan cinta dan seseorang, yang akhirnya beberapa menit lalu ia mengetahui kenyataannya. Kenyataan sangat pahit dan menyakitkan bahwa penantiannya takkan berujung. Bahwa yang ia tunggu dan rindukan selama ini takkan kembali lagi.
Ajeng menghentikan langkahnya. Berjongkok memeluk kedua lututnya. Menatap langit malam yang gelap tanpa bintang maupun rembulan, pertanda bahwa sebentar lagi akan hujan.
"Tuhan...Ya Allah...Kenapa Kau melakukan ini padaku? Bunuh saja aku Tuhan. Jangan menyiksaku seperti ini terus. AKu muak. Aku muak dengan semua hidupku. AKu muak dengan takdir. Aku menyerah Tuhan. Tolong cabut saja nyawaku. Kumohon Tuhan, cabut nyawaku saja. AKu mau mati. Aku ...Aku..."
Ajeng menepuk- nepuk dadanya, merasakan sekujur tubuhnya gemetar karena kedinginan. Tangisnya pecah memecah keheningan malam.
Ajeng bangkit. Ia menatap lurus jalanan di depannya. Ia tersenyum sinis di tengah tangisnya. Ia berjalan tergesa- gesa seperti hendak mengejar sesuatu. Ia tak lagi peduli dengan apapun. Ia menghapus air mata dipipinya dengan kasar. Semua kenangan tentang ayah, ibu, Yuda, sahabat- sahabatnya dan juga Al, pemuda yang akhir- akhir ini mewarnai kehidupannya. Ajeng terus berjalan, menerobos angin malam yang menusuk tubuh mungilnya.
"Percuma Ajeng. Lo nggak pantas untuk bahagia. Yuda udah mati dan Al, ia juga sakit Ajeng. Tuhan hanya ingin mempermainkan elo, dan sebentar lagi, Dia juga akan kembali mengambil semuanya. AKhiri sekarang Ajeng, akhiri semua penderitaan lo. Saatnya lo ketemu mereka yang lebih dulu ninggalin lo. Saatnya lo tanya ke mereka mengapa mereka ninggalin lo. Ini saatnya Ajeng. "
Ajeng berhenti. Matanya memandang lurus mobil yang berlalu lalang di depannya. Ia kembali mengadah ke langit, membiarkan tetesan bening mengalir di pipinya yang pucat. Ajeng menutup matanya, mendengarkan bunyi kendaraan yang lalu lalang. Semua bayangan indah kehidupannya kembali terekam di memori otaknya. Ia tersenyum, namun sekilas ekspresi wajahnya berubah saat semua perjalanan menyedihkan dan menyakitkan yang selama ini ia alami.
"Maafkan aku Tuhan. Maaf. Tapi aku benar- benar lelah. Aku lelah."
Saat Ajeng hendak melangkah maju, tiba- tiba sebuah keributan menghentikannya. Menghentikan langkah kaki dan hayalannya. Ia membuka matanya pelan.
"Kecelakaan woe...Ada kecelakaan."
Seseorang menabrak Ajeng dan semua orang berlari berkerumun menuju pusat keramaian. Ajeng hanya terdiam. Dalam dirinya, ia tak peduli dengan apapun lagi. Baginya, sekarang tujuannya hanya kematian.Kematian yang menghentikan semua penderitaannya. Kematian yang akan mempertemukan ia dengan semua orang yang ia cintai.
Namun seketika pandangan Ajeng tertuju pada motor yang nampak dari jauh di dekat kerumunan itu. Motor yang tidak asing bagi Ajeng. Motor itu tergeletak dan hancur. Ajeng kemudian melangkah memberanikan diri menerobos orang- orang itu. Bunyi ambulan sudah mengaung. Ajeng terus berjalan. Dan kakinya terhenti. Wajahnya semakin pucat. Jantungnya berhenti berdetak. Matanya menatap sosok itu. Sosok bersimpuh darah yang tergeletak di jalan. Sosok yang baru saja ia temui dan mungkin ia benci. Sosok itu.
"Kevin..." Ajeng memeluk Kevin yang bersimbah darah. "Vin, Kevin lo bangun Vin. Vin, Kevin..."
Ajeng terus berteriak diselingi tangis. Ia menatap wajah Kevin yang terlihat kesulitan berbicara.
"Ajeng, maaf, maafin gue."
Kevin terbata- bata. Berusaha sekuat tenaga mengangkat tangannya membelai lembut wajah Ajeng.
"Iya Vin, gue maafin lo. Tolong, bawa dia ke rumah sakit." Ajeng terus saja menangis memeluk Kevin yang tak berdaya.
"Nggak Jeng. Gue udah nggak kuat. Gue...gue minta maaf. Tolong maafin gue. Gue sayang sama lo. Gue mau lo hidup dengan baik seperti Ajeng yang dulu. Maafin gue Jeng. Asal lo tau, Yuda sangat mencintai lo. Malam itu dia mau ngelamar lo. Tapi dia kecelakaan. Maafin gue Ajeng."
Kevin menutup matanya. Ia terjatuh di pangkuan Ajeng. Ajeng berteriak kencang. Dan sedetik kemudian ia pun jatuh lemah tak berdaya.
3bulan kemudian
Sejak kematian Kevin malam itu, Ajeng dirawat di rumah sakit dan koma selama seminggu. Malam itu, saat kejadian Verrel tak sengaja melihat kejadian itu dan turun dari mobilnya saat melihat Ajeng. Dan saat Ajeng pingsan, Verrel membawanya ke rumah sakit. Verrel selalu menjaga Ajeng di rumah sakit bergantian dengan Nina dan Brandon. Menurut dokter, Ajeng mengalami trauma hebat dan belum diketahui mengapa ia tak sadarkan diri selama tiga bulan meski tidak ada luka serius di tubuhnya. Sejak kematian Kevin, Chika berulang kali datang ke rumah sakit menangis dan marah kepada Ajeng. Ia sangat membenci Ajeng dan mengira Ajeng penyebab kematian Kevin.
Saat itu, Nina, Brandon dan Verrel menjaga Ajeng. Sikap Verrel memang berubah. Ia menjadi sangat perhatian pada gadis galak itu. Kevin duduk di kursi dekat ranjang Ajeng. Brandon dan Nina baru saja datang saat pulang dari restoran.
"Ajeng gimana Rel?" Nina mendekati Ajeng.
"Belum ada perubahan Nin. Gue udah mutusin Ajeng dibawa ke Singapur untuk perawatan lebih lanjut." Verrel menggenggam tangan Ajeng.
"Kita sabar dan berdoa saja. Ajeng harus sembuh dan bangun." Brandon menepuk pundak Verrel.
Yah, Verel dan Brandon tak lagi sering bertengkar. Keduanya terlihat akur menjaga Ajeng dan mendoakan Ajeng.
"Plis, lu bangun Jeng. Gue mau minta maaf sama lo. Nggak seharusnya lo membenci kehidupan. Lo nggak boleh nyerah Ajeng. Gue janji akan baik sama lo. Apapun akan gue lakukin asal lo bangun. Gue mohon." Verrel menatap wajah pucat Ajeng.
"IYa, bangun Jeng. Ibu, ayah, Kevin dan Yuda juga nggak mau lo kayak gini. Bangun Jeng." Nina menangis dan Brandon memeluknya, mencoba menenangkannya.
Verrel merasakan tangan mungil yang digenggamnya bergerak. Ia menatap wajah Ajeng, matanya terlihat berusaha untuk terbuka.
"Ajeng..." Verrel bangkit dari duduknya. Nina dan Brandon menoleh dan ikut memegangi tangan Ajeng.
Dokter sedang memeriksa keadaan AJeng. Verrel, Nina dan Brandon terlihat sangat cemas. Mereka berjalan mondar- mandir kesana kemari.
"Silahkan masuk, pasiennya sudah sadar." Dokter yang keluar dari ruangan Ajeng melangkah pergi.
Verrel, Nina dan Brandon kompak masuk bersamaan. Ketiganya sumringah dan bersemangat menemui Ajeng. Mereka menghampiri Ajeng tersenyum dan terharu.
"Ajeng....Syykurlah." Nina memeluk Ajeng. Ajeng ikut memeluk sahabatnya.
"Lo nggak apa- apa kan bidadari Ajeng?" Brandon membungkuk menatap Ajeng. Ajeng hanya tersenyum. "Syukurlah lo bangun." Brandon membelai lembut rambut Ajeng.
Verrel hanya berdiri mematung, memandangi Ajeng. Ia bersyukur gadis itu akhirnya sadar dan baik- baik saja. Namun tiba- tiba Ajeng ikut menatapnya. Mata mereka bertemu, Ajeng hanya terdiam. Nina dan Brandon ikut memandang Verrel yang hanya mematung di tatap Ajeng.
"Maafin gue Ajeng." Verrel menatap Ajeng sendu. Ajeng hanya terdiam kemudian memberikan isyarat agar ia mendekat. Verrel menatap Ajeng heran. Nina dan Brandon kompak menyuruhnya mendekati Ajeng. Verrel berjalan kaku. Ia mendekat, dan tiba- tiba tubuh atletisnya di dekap dengan erat. Sebuah kehangatan memuncah dari tubuh mungil Ajeng. Verrel hanya menerima pelukan erat itu, mencoba mengatur ritme jantungnya.
"Yuda...Gue kangen banget sama lo. Lo kemana aja sih baru datang?"
Verrel, Brandon dan Nina tersentak kaget. Ajeng terus memeluk Verrel.
"Gue kangen banget Yuda, pangeran kodok gue."
"Yuda??????????"
Yeh, author dapat kesempatana update. Bagaimana nih, nggak kecewa kan yah. Maaf gak sesuai harapan alur kalian. Tapi author udah rnacang alurnya kayak gini.silahkan di vote dan dikomen yah....
![](https://img.wattpad.com/cover/55354900-288-k602485.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Arti sahabat ( Arti Cinta)
Romanceini kisah tentang PERSAHABATAN DAN CINTA. dua kata yang berbeda namun memiliki makna yang sama besarnya. SAHABAT DAN CINTA, di dalamnya sama-sama ada sayang, namun dengan racikan yang berbeda. Bagaimana ketika hidup mengaruskan kita memilih, antara...