----------
Ia adalah surgaku, sementara kau... nerakaku...
----------
Aku memegang dadaku yang tiba-tiba seperti dihimpit oleh bongkahan batu besar. Sesak sekali rasanya. Tatapan Leon lurus menghujamku langsung. Rasanya untuk berpaling terlalu sulit. Tatapannya penuh dengan intimidasi.
Ck!
Salahku juga mengapa aku begitu berani masuk ke dalam ruang yang mungkin sangat pribadi baginya. Bagaimanapun aku telah mengusik privasinya. Tetapi tetap saja, aku tidak akan pernah terima ia melukisku seperti itu! Apakah tidak ada ide yang lebih baik untuk melukisku dengan gaya yang lebih indah atau enak dilihat? Atau lebih baik... jangan pernah melukis aku! Itu sungguh mengerikan! Dan sebenarnya... apa tujuannya?
Aku mencoba untuk memundurkan langkahku saat melihat kakinya yang bergerak maju dengan amat perlahan. Ia seperti monster yang siap menyerangku dan memakanku hidup-hidup. Aku tidak peduli saat kakiku menyenggol easel hingga kanvas yang berada di atasnya jatuh begitu saja dan menimbulkan suara dentuman di lantai yang cukup keras.
"Jangan mendekat, Leon!" ancamku walaupun aku tidak mampu berteriak. Tidak, aku tidak akan pernah bisa berteriak dengan lantang. Mungkin aku terbiasa dengan mommy yang selalu berkata lembut, apalagi jika bersama dengan daddy.
"Kau memang lancang, Nona Caradoc!"
Kreeeekkk!!!
Aku memejamkan mata saat mendengar suara easel lainnya yang berada di dekatnya ia tendang hingga salah satu kaki kayu itu patah. Bahkan suara patahannya bagaikan suara remukan tulang.
"Apa yang akan kau lakukan?" Aku sudah tersudut, tidak bisa bergerak kemana-mana lagi. Bahkan aku bisa merasakan punggungku yang perih akibat tusukan ujung kanvas yang ditumpuk dan diletakkan secara horizontal.
"Memberimu sedikit pelajaran karena sudah lancang masuk ke dalam teritori yang seharusnya tidak kau masuki." Tidak ada teriakan dalam nada suaranya. Suaranya begitu datar dan pelan, tetapi bagiku itu justru terdengar seperti melodi yang mengerikan dan siap mencabik-cabik diriku.
Leonard Caradoc, iblis macam apa yang sekarang sedang bersemayam di dalam tubuhmu?
Aku tidak tahu sejak kapan ia berada di dekatku. Mungkin karena aku memejamkan mata terlalu lama. Tetapi yang jelas, saat ini aku bisa merasakan hembusan napasnya yang menyapu pipiku. Napasnya begitu dingin, sama seperti mayat yang tidak memiliki suhu panas sama sekali. Apakah ia benar-benar kerasukan iblis atau bahkan monster? Ah, aku terlalu banyak membaca cerita R.L. Stine.
Aku mencoba menundukkan kepalaku. Berusaha menghindari deru napasnya yang tiba-tiba memburu. Tetapi tangannya mencengkeram rahangku. Aku yakin saat aku membuka mata, maka aku akan mendapati wajahnya di depanku. Oke, ia tampan, tetapi kali ini aku benar-benar tidak ingin melihat wajah itu sama sekali.
"Buka matamu dan pandang aku." Nadanya terlalu datar dan dingin, mampu membuat darahku berdesir ngilu.
"Aku tidak akan memandang wajah iblismu untuk saat ini," kataku dengan berani, walaupun kini jantungku berpacu dengan ritme yang cepat.
"Kau benar, Nona Caradoc, saat ini yang ada di depanmu adalah seorang iblis," bisiknya dengan sangat lembut, karena terlalu lembut hingga mampu membuat rambut-rambut halus di sekitar leherku meremang. Kini hidungnya sudah menempel di daun telingaku. Aku yakin bahwa jarak bibirnya tidak ada satu senti dari telingaku. Rambut kami sudah saling menyentuh. Dan tangannya tiba-tiba mencengkeram satu lenganku.
"Kau juga menyandang nama Caradoc, Leon!" Aku mengingatkan, karena jujur saja, aku sungguh benci ia memanggilku Nona Caradoc seolah-olah aku adalah orang asing baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alanis "a forbidden love"
Lãng mạnDi bawah langit Rusia Kita meretas cinta Meleburkan batas ketidakbenaran Mengisi tiap gores kidung kehidupan Hingga takdir menentukan jalannya... Di bawah langit Rusia Aku, Alanis Caradoc... Dan inilah kisah cinta terlarangku... ...