----------
Belai dingin itu memabukkan, bahkan terkadang membuat aku melupakan apa itu kehangatan. Satu yang aku lupa, dingin juga dapat menyeretku dalam bekunya yang mematikan.
----------
Bibir itu dingin.
Dengan dicium saja, aku sudah merasakan tubuhku yang perlahan membeku. Bahkan untuk bergerak aku tidak mampu. Aku hanya merasakan getaran-getaran asing yang menjalar bagai sengatan listrik. Membuatku begitu tidak berdaya bahkan untuk sekedar menolaknya. Leon memperdalam ciumannya, aku bisa merasakan ia menggigit bibir bawahku. Aku memejamkan mata, hanya mampu menerima semuanya dengan pasrah.
Leonard Caradoc, adalah laki-laki kedua yang pernah menciumku, selain daddy. Aku ingat daddy selalu berpesan bahwa aku harus bisa menjaga diriku sendiri, apalagi dari laki-laki brengsek yang terkadang memandangku sambil tak berkedip dan seolah-olah ingin memakanku hidup-hidup.
Aku selalu ingat bagaimana tatapan marah daddy saat melihat banyak laki-laki yang akan menggoda dan mendekatiku. Lalu bagaimana dengan Leon? Apakah ia masuk ke dalam kategori laki-laki brengsek itu? Jelas iya! Aku sepupunya sendiri dan dia dengan tega...
Aaarrggh! Mungkin jika daddy tahu, daddy tak akan segan untuk membunuhnya sekarang juga.
"Hhmpppfff..."
Hanya itu yang mampu kusuarakan saat aku merasakan ciumannya yang semakin liar. Dia benar-benar seperti pencium handal. Entah sudah berapa banyak perempuan yang takluk akan pesonanya, dan entah aku perempuan yang keberapa. Mengetahui kenyataan itu, ingin sekali mendorong tubuhnya menjauh. Tetapi rupanya tubuhku telah mengkhianati otakku. Aku bahkan dengan senang hati menerima semua perlakuannya ini.
Alanis Caradoc, saat ini kau seperti perempuan murahan! Teriak otakku dengan geram. Aku tidak peduli.
Saat aku merasakan tangan Leon yang membelai tubuhku, aku mulai membangun benteng pertahanan lagi. Ini salah, jelas ini salah! Ciuman dengannya saja sudah merupakan kesalahan yang sangat besar. Dan aku tidak mau terdorong ke dalam jurang dan terperosok lebih dalam lagi.
Plaaakk!!!
Aku menamparnya! Tanganku seakan bergerak secara otomatis, padahal sungguh aku tidak ingin menamparnya. Aku hanya ingin mendorongnya agar menjauh, itu saja. Aku menggigit bibirku yang basah, merasakan bekas ciumannya yang masih sangat terasa. Rasanya sungguh pahit.
Aku memberanikan diri untuk mendongakkan wajah, memandangnya dengan takut. Aku melihat kilat kemarahan yang masih kental tercetak jelas di kedua bola mata hazel itu. Ia memandangku dengan tatapan yang sulit sekali diartikan.
"Maaf..." hanya itu yang bisa aku ucapkan, walaupun aku tahu bahwa kata maaf seharusnya keluar dari mulutnya.
"Apakah tidak terlalu terlambat kau menamparku sekarang?! Kau bahkan masih sempat menikmatinya!" sentaknya. Tidak ada penyesalan sedikit pun darinya walau ia sudah memperlakukan aku seperti perempuan murahan.
Sialan! Ia benar-benar brengsek!
Aku juga marah pada diriku sendiri. Bisa-bisanya aku sempat menikmati ciumannya. Demi Tuhan, ia baru saja bersama dengan seorang wanita! Dan entah apa yang mereka lakukan sebelum Leon melukisnya dengan keadaan yang... Ah, sudahlah aku malas mengatakannya, mengingatnya saja membuat aku ingin muntah. Dan saat ini, aku merasa tidak jauh berbeda dengan wanita itu. Benar-benar murahan.
"Mengapa?" tanyaku parau. Untuk menelan ludah saja rasanya tenggorokanku perih.
"Mengapa apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Alanis "a forbidden love"
RomanceDi bawah langit Rusia Kita meretas cinta Meleburkan batas ketidakbenaran Mengisi tiap gores kidung kehidupan Hingga takdir menentukan jalannya... Di bawah langit Rusia Aku, Alanis Caradoc... Dan inilah kisah cinta terlarangku... ...