-- 13 -- Inessa Feodora

19.6K 1.2K 125
                                    

Leonard PoV

----------

Kepedihan telah mengungkung begitu lama hingga terkadang bahagia semu itu terasa menyenangkan.

----------

Flashback...

Inessa Feodora. Aku pertama kali bertemu dengannya saat usiaku 17 tahun. Jangan pernah bertanya apakah pertemuan kami manis. Tidak, kami bertemu di tempat rehabilitasi. Bukan rehabilitasi narkoba, tetapi rehabilitasi penyakit jiwa. Lalu siapakah yang sakit jiwa? Tentu saja aku dengan bangga mengatakan bahwa dirikulah yang direhabilitasi.

Dan siapa yang membawaku ke sini? Tentu saja daddy, siapa lagi? Aku tetap bersekolah, nilaiku selalu cemerlang. Aku bersyukur karena otak cerdas daddy sangat menurun pada diriku. Tetapi mungkin bagi daddy kecerdasanku berbanding terbalik dengan kondisi psikisku. Aku hanya perlu bertemu dengan psikiater beberapa kali dan menjalankan terapi. Lalu, apakah aku marah karena daddy menganggap aku gila? Tidak. Karena aku memang merasa tidak ada yang tidak beres dengan otakku.

Melakukan pelecehan seksual terhadap sepupuku sendiri itu saja sudah menunjukkan bahwa otakku terganggu. Ugh, mengingat itu sungguh membuat aku rindu pada Alanis. Sekarang ia berada ribuan mil jauhnya dariku. Apa yang ia lakukan? Apakah ia merindukan aku? Mungkin aku terlalu berharap banyak. Tetapi memang aku sungguh berharap ia juga merasakan penderitaan yang sama denganku saat kehilangan aku.

Tiada hari tanpa Alanis yang menari dalam pikiranku. Dan aku selalu memvisualisasikannya ke dalam lukisan-lukisanku. Tentu saja aku mengingat tiap detail wajahnya karena ia adalah mimpi buruk, sekaligus mimpi indahku. Ia adalah napas, sekaligus malaikat pencabut nyawaku. Ah, sulit sekali mendeskripsikan bagaimana perasaanku padanya.

Hingga malaikatku datang, dalam bentuk seorang Inessa Feodora. Meskipun tidak terlalu mirip dengan Alanis, tetapi ia memiliki perawakan, bentuk wajah dan juga gesture yang sangat mirip dengan Alanis. Sejak pertama kali melihatnya duduk termenung di taman tempat rehabilitasi itu, seperti ada magnet yang membuatku tertuju padanya. Dan saat itulah aku memberanikan diri untuk mendekatinya secara langsung.

Seperti tersadar akan keberadaanku, ia mendongakkan kepalanya, aku bisa melihat mata kelamnya yang seperti menyembunyikan duka.

"Mau dekat denganku atau sekedar bermain denganku?" tanyanya langsung yang membuat aku terheran.

"Bermain," jawabku dengan santai sambil duduk di sebelahnya dan menyilangkan kaki.

"Baru kali ini aku bertemu dengan laki-laki yang sangat jujur." Ia tertawa sinis.

"Aku bukan laki-laki yang munafik. Kalau boleh tahu, siapa namamu?"

"Inessa Feodora," jawabnya cepat.

"Nama yang sangat cantik, tetapi aku lebih suka memanggilmu dengan Alanis, bagaimana?"

Ia mengerutkan dahi seperti berpikir sejenak kemudian mengangkat bahunya tidak peduli. "Terserah padamu, nama tidak terlalu penting. Lalu ingin memulai permainan dari mana?"

Aku ternganga, sungguh tidak menyangka perempuan itu seperti mengetahui apa yang ada di dalam otakku. Ya, aku memang hanya ingin bermain. Aku butuh pelampiasan. Hingga 17 tahun Alanis menyiksa diriku, dalam dunia nyataku, bahkan di dalam alam bawah sadarku. Dan aku tidak dapat menahan semuanya.

"Jadilah kekasihku. Kita bisa melakukan hal-hal yang membuat kita senang, 'kan?"

Pertemuan pertama, dan aku memintanya menjadi kekasihku. Tetapi entah mengapa aku yakin bahwa ia tidak akan menolakku.

Alanis "a forbidden love"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang