----------
Empat musim berlalu dengan beratapkan tragedi yang berhasil di kalahkan. Segala tangis dan kepedihan pada akhirnya menuntun pada titik akhir di mana semua kisah harus diakhiri. Tetapi akankah ada akhir setelah kata akhir itu sendiri?
----------
2 bulan kemudian...
Peluh ini turun membasahi wajah seiring dengan suara roda ranjang rumah sakit yang berteriak untuk menusuk hatiku. Suaranya mengerikan. Terlebih saat benda itu akan memasuki ruangan yang bisa menjadi penentu hidup atau mati. Dan seseorang yang berbaring di atasnya, hanya terbujur dengan wajah yang begitu pucat. Terasa tidak sanggup melihat penderitaannya, aku begitu ingin menggantikan posisinya. Dan sekaranglah saatnya.
Detik di mana sebuah nyawa akan dipertaruhkan untuk menghadirkan kehidupan yang baru. Aku merasakan bahuku ditepuk pelan. Aku menghapus tetes air yang berasal dari mataku dan menoleh ke belakang. Kenny memelukku sambil mengusap punggungku. Aku tersenyum pahit. Ini adalah saat untuk merelakan.
Ketika ranjang itu memasuki ruangnya, jemariku terlepas dari jemari seorang perempuan yang telah menjadi bagian dari diriku. Hidupku seolah ikut dirampas saat aku melihat raganya yang menghilang seiring dengan tertutupnya pintu itu.
"Aku masuk dulu, Leon. Aku harus memastikan kondisi jantung Alanis karena ia begitu lemah saat dibawa kemari. Berdoalah dan aku berharap Alanis dan bayinya bisa selamat.
"Sialan! Jangan banyak berbicara lagi, Ken! Masuk dan selamatkan Alanis!" pekikku sarat akan emosi saat Kenny mencoba mengulur waktunya.
Kenny pada akhirnya masuk ke dalam ruangan itu untuk ikut mengawasi proses persalinan Alanis karena ia yang bertanggungjwab penuh atas kondisi kesehatan jantung Alanis yang tiba-tiba melemah saat ia mengalami kontraksi. Saat berada di rumah kami dan melihatnya jatuh dengan darah yang merembes hingga kakinya tentu itu membuat aku gila.
Dan saat ini aku hanya bisa menanti detik berlalu dengan cepat hingga aku mendengar suara tangis anakku untuk pertama kalinya. Aku ingin segera merengkuhnya dalam pelukanku. Aku mencoba untuk bersandar di dinding. Dentum langkah kaki terdengar dan aku mendongakkan wajahku yang sejak tadi tertunduk. Orang tua Alanis dan daddy berjalan cepat menghampiriku.
Saat berada di depanku, daddy segera memelukku. Daddy... ia memang adalah seorang ayah yang bisa menjadi sandaran disaat aku terkadang tidak sanggup menopang diriku.
"Bagaimana keadaan Alanis, Leon?" tanya daddy setelah ia melepaskan pelukannya.
Aku menggeleng dan berusaha menelan ludahku yang telah bercampur dengan rasa getir. "Ia tidak baik, Dad. Saat aku membawanya ke rumah sakit... denyut nadinya... denyut nadinya lemah sekali," kataku tercekat sambil merusaha menutup mulutku sendiri.
Sementara Daddy Yanez menatapku tajam. Wajahnya menunjukkan bahwa ia juga berada di posisi yang sama denganku, kalut. Ah, nampaknya semua yang berada di sini memang sudah diselimuti oleh kalut. Daddy Yanez terasa begitu enggan untuk membuka kata denganku. Ia selalu memilih untuk menghindari kontak mata. Sejak aku memutuskan tinggal bersama Alanis tanpa ikatan pernikahan sebelum Alanis melahirkan, Daddy Yanez memang sangat jarang menjenguk kami.
Daddy Yanez lebih memilih untuk bertemu Alanis saat Alanis sedang menjalani check up rutin di rumah sakit bersama Kenny. Meskipun aku berada di sana untuk mengantarkan Alanis, tetapi aku bisa menempatkan posisiku untuk sedikit menjauh dari daddy.
Aku tahu, berat memang menerima hubunganku dengan Alanis. Di saat kalut seperti ini, aku justru menambah kekalutan itu dengan melemparkan pikiranku pada kejadian saat aku mencoba untuk memperjuangkan cintaku di hadapan Daddy Yanez. Satu bulan. Itu adalah waktu yang aku gunakan sebaik mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alanis "a forbidden love"
RomanceDi bawah langit Rusia Kita meretas cinta Meleburkan batas ketidakbenaran Mengisi tiap gores kidung kehidupan Hingga takdir menentukan jalannya... Di bawah langit Rusia Aku, Alanis Caradoc... Dan inilah kisah cinta terlarangku... ...