-------------
Dalam bentang jarak yang tercipta, aku mampu memahami bahwa cinta itu tak harus memiliki. Ia cukup dirasa dan diresapi dalam jiwa. Dan di sini, aku selalu menunggu cinta darimu kembali menyapaku dalam derai lembut belaiannya.
-------------
Butiran kristal salju itu menyelimuti tiap sudut kota dengan dinginnya yang membekukan. Semburat cahaya yang menelusup dalam butir gumpalan kapas langit menandakan bahwa langit lebih bersahabat dibanding hari lalu. Tidak ada hujan salju, suhu terasa lebih hangat dibanding kemarin. Aku tersenyum sambil mengetatkan jaket tebalku.
Dingin ini mungkin telah akrab di kulitku sejak sebulan yang lalu. Karena... aku sering menghabiskan waktu untuk hanya duduk di sini sambil memandang kristal-kristal itu. Sebuah taman yang cukup indah di dekat apartemen Kak Kenny. Hanya dengan berjalan kaki aku bisa menuju tempat ini saat Kak Kenny sedang bekerja.
Aku memembetulkan letak selang oksigen yang menancap di hidungku dan menghirup udaranya dalam. Suara tawa anak kecil menyita seluruh sudut netraku. Derai tawa mereka memenuhi tiap sudut taman ini. Bocah-bocah yang bermain di atas salju dan ada beberapa yang membuat boneka salju.Mereka tampak seperti malaikat-malaikat penjaga pintu surga yang membawa lonceng kebahagiaan hanya dengan gelak tawa.
Aku membelai perutku sendiri. Usia kandunganku sudah memasuki masa tujuh bulan. Aku membayangkan bagaimana ketika bayiku lahir dan bertumbuh nanti, ia pasti akan bahagia seperti bocah-bocah itu. Senyum mereka bagaikan obat dari segala rasa gundahku. Satu bulan lamanya, Leon kembali menghilang. Ia tidak memenuhi janjinya untuk terus berada di sisiku dan menjaga buah hati kami. Saat aku membuka mata kala itu di rumah sakit, ia tidak pernah kembali.
Tidak ada yang tahu di mana ia menghilang, bahkan Daddy Kean sekali pun. Entah mereka berbohong atau tidak, aku tidak peduli. Yang jelas, Leon tidak akan berjuang demi perempuan seperti aku. Tetapi aku tidak akan menyerah untuk tetap mempertahankan bayi kami. Aku yakin, saat ia lahir nanti, ia pasti sangat mirip dengan Leon. Dan melalui bayi ini, aku bisa menyampaikan cintaku yang besar terhadap Leon.
Aku menunduk ke bawah dan mengambil kristal es itu untuk menggenggamnya dalam ruas jemariku. Aliran hangat dari dalam raga menyalur ke dalam gumpalan es itu sehingga lama-lama kristal es itu berubah menjadi genangan kristal bening yang akhirnya kembali jatuh ke tanah menelusup melalui ruas-ruas jari. Aku tersenyum pedih, seperti itulah Leon. Ia bagaikan es yang membeku, yang akan mencair dan menghilang ketika lama aku genggam.
Aku kembali membetulkan letak selang oksigenku dan menghirup udara yang berasal dari sana dengan sangat dalam. Tawa anak-anak kecil masih memenuhi ruang pendengaranku. Aku mencoba tersenyum dan bersikap tegar. Karena memang itulah yang aku lakukan dalam bentang jarak yang diciptakan oleh Leon sejak menghilang. Aku hanya bisa menerima takdir yang pada akhirnya tetap tidak berpihak pada kami.
"Hai, Kakak, dari tadi aku melihat kakak duduk sendirian di sini. Ini untuk kakak." Aku terkejut saat sebuah suara anak kecil perempuan yang datang kepadaku dengan membawa sebuah boneka salju berukuran cukup besar. Aku terkejut karena menyadari bahwa boneka salju itu tidak terbuat dari es melainkan boneka salju dalam arti yang sebenarnya.
Aku mengambil boneka itu dan memeluknya sambil tersenyum serta mengelus kepala anak perempuan itu. "Terimakasih. Siapa namamu?"
"Leanna. Apakah kakak bahagia dengan hadiahnya?" tanya anak perempuan itu dengan wajah polosnya.
"Tentu saja, Leanna. Bahagia sekali. Mengapa tiba-tiba memberikan kakak boneka ini?" tanyaku penasaran. Anak-anak kecil yang melihat kami tiba-tiba berhenti dari kegiatannya. Mereka tersenyum dan berkumpul di hadapanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alanis "a forbidden love"
RomanceDi bawah langit Rusia Kita meretas cinta Meleburkan batas ketidakbenaran Mengisi tiap gores kidung kehidupan Hingga takdir menentukan jalannya... Di bawah langit Rusia Aku, Alanis Caradoc... Dan inilah kisah cinta terlarangku... ...