----------
Dan di depan altar itu, kita mengucapkan janji pernikahan yang sesungguhnya.
----------
"Jangan banyak bertanya! Sekarang juga aku akan membawamu ke depan altar!"
Aku terperangah mendengar secara tiba-tiba ia mengatakan hal yang sesungguhnya bagitu aku harapkan. Tetapi... dalam suasana duka seperti ini tentu itu tidak masuk akal sama sekali! Aku berusaha menghentikan langkahku, tetapi tarikan Leon begitu kuat sehingga membuat diriku terseret. Aku mencoba menarik lenganku, tetapi justru hanya rasa sakit akibat cengkeramannya yang aku rasakan.
"Leon, lepaskan aku!! Sekarang bukan waktunya untuk bercanda! Jangan membuat kacau di pemakaman mommy-mu sendiri!!"
Ia sama sekali tidak menggubris omelanku. Aku sempat menoleh ke belakang dan melihat Daddy Kean masih membeku di tempatnya. Sementara mommy dan daddy pasti sedang sibuk mengikuti upacara pemakaman. Aarrggh!! Kenapa aku selalu dihadapkan pada posisi sulit? Aku sungguh berharap bisa menikah dengan Leon, tetapi bukan saat ini. Tidak dengan cara melarikan diri seperti ini.
"Alanis!"
Aku tersentak saat merasakan sebuah jemari hangat yang menarik salah satu lenganku. Jemari hangat yang entah mengapa menggelitik rasa rindu di dadaku. Aku melihat Leon yang menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. Hal itu membuat aku menabrak punggungnya dengan cukup keras.
Leon memutar tubuhnya dan melihat seseorang yang kini sedang menggenggam lenganku. Seseorang yang tepat berada di belakangku. Wajah Leon menegang. Rahangnya mengeras. Pandangan bola mata hazel-nya menajam.
Aku ikut memutar tubuhku dan mendapati... surgaku tengah menatapku dengan bola mata biru lautnya. Mata yang selalu dipenuhi dengan keteduhan. Ia mengenakan setelah semi formal hitam yang membuatnya semakin maskulin dan menawan. Ketampanannya tidak perlu diragukan lagi. Ah, surgaku!!! Ingin sekali aku berteriak dengan kencang jika saja aku tidak merasakan jemari Leon yang semakin kuat mencengkeram lenganku.
"Lepaskan dia, Ken!" sentak Leon dengan nada yang tidak bersahabat.
"Kau yang lepaskan dia. Lihat, Leon, dia kesakitan!" balas Kak Kenny juga dengan nada tajam yang penuh dengan emosi.
Aku menatap kedua lelaki ini bergantian. Bola mata biru itu yang selalu menjalarkan rasa nyaman, dingin tetapi menyejukkan hati. Mata yang selalu memancarkan indahnya surga dalam kristal-kristal irisnya. Sementara hazel itu selalu memancarkan bara panas, menghentikan aliran nadi, membuat jantung memompa lebih cepat, melenyapkan oksigen, melumpuhkan akal sehat, dan paling parah membuatku mati suri secara perlahan.
Aku... kembali dihadapkan pada pilihan yang sama. Memoriku melempar diriku saat berada di apartemen Kak Kenny. Saat itu aku dengan tegas memilih Leon, dan aku tahu apa yang terjadi selanjutnya. Lalu, bagaimana dengan saat ini? Surga dan neraka, lagi-lagi itu pilihannya. Dan sepertinya kali ini Tuhan memberikan aku kesempatan secara nyata untuk keluar dari lingkaran setan yang diciptakan oleh Leon.
Mataku kembali menjelajah, aku menangkap beberapa pengawal yang menjadikan kami sebagai pusat perhatian. Sepertinya aku tidak bisa terlalu lama dalam posisi seperti ini. Menjadi pusat perhatian saat upacara pemakanan sungguh membuat aku tidak nyaman dan merasa bersalah kepada Mommy Key.
"Sugar, ikutlah denganku," bujuk Kak Kenny dengan suara berat namun sangat lembut dan merdu di telinga. Aku tahu, ketika memilihnya, kebahagiaanku tak perlu diragukan lagi.
"Kak Kenny... aku—"
"Kita tidak punya waktu lagi Alanis!" Leon menyentakkan kembali lenganku saat ia merasa genggaman Kak Kenny melemah karena terfokus pada jawaban yang akan aku berikan. Genggaman Kak Kenny lepas begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alanis "a forbidden love"
RomanceDi bawah langit Rusia Kita meretas cinta Meleburkan batas ketidakbenaran Mengisi tiap gores kidung kehidupan Hingga takdir menentukan jalannya... Di bawah langit Rusia Aku, Alanis Caradoc... Dan inilah kisah cinta terlarangku... ...