The Lost Part -- Lithium --

9.7K 701 108
                                    

-----------

Ketika napas telah terhenti, ketika nadi kehilangan denyut, maka lepaslah ikatan dengan dunia. Ingin kembali? Sayangnya, di surga dan neraka tidak menyediakan tiket untuk kembali ke bumi.

-----------

Tidak tahu ini berada di mana. Ini seperti sebuah ruang hampa tanpa isi, putih yang menjadi latar dan selimutnya. Tetapi putih itu kosong, bersinar, namun menyilaukan mata. Aku memincing, tak sanggup melawan kilau yang menembus iris mata biruku. Aku tidak sanggup berada di sini lebih lama. Mungkin ketika melihat cahaya itu, ia bisa merampas penglihatanku dan membuatku hidup dalam kegelapan selamanya.

Aku memejamkan mata, takut akan sinar yang tak redup pijarnya tetapi terangnya justru makin menyerang. Bahkan dalam gelapnya pejaman mata, sinar itu masih mampu menembus dan menyilaukan. Kututup kedua mataku dengan telapak tangan, menghalau cahaya itu. Tetapi kurasakan sebuah tiupan lembut dan dingin pada kelopakku.

"Buka matamu...." Suara yang begitu aku kenal. Aku tersenyum dan perlahan membuka mataku. Hazel itu telah ada di depanku. Dengan kilat bahagia ia menatapku lembut. Aku menarik ekor bibirku membentuk senyuman. Pijar sinar kini tak lagi berperang dengan ruang penglihatanku. Tetapi cahaya itu membentuk spektrum warna pelangi yang berkilau indah.

"Leonard Caradoc...," desahku begitu lirih.

Ia mengangguk dan tersenyum. Senyumnya berbeda. Tanpa beban, tanpa kepedihan, dan terasa jauh. Ia mengenakan pakaian serba putih. Lentik bulu matanya mengerjap, sinar mata hazel-nya memancarkan kebahagiaan. Kulitnya penuh dengan kilau bagai berlian. Aku mengamatinya dalam diam.

Mengapa ia berbeda sekali? Ia... tak teraih meskipun kami begitu dekat. Seperti ada dinding tak kasat mata yang saat ini memisahkan kami. Ia juga... tak tersentuh.

Aku mengerutkan dahiku, menggeleng tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Sebenarnya di mana aku berpijak saat ini? Adakah bumindengan latar seperti gula-gula kapas seperti ini? Apakah ini mimpi indah atau mimpi buruk? Tetapi apa pun itu, asalkan ada dia di sini, aku tidak peduli. Aku hanya butuh untuk bersamanya.

"Leon... apa yang terjadi?" tanyaku heran. Aku mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum aku berada di dunia yang asing ini. Sepertinya aku... berada di depan altar katedral karena itu adalah hari pernikahanku. Lalu... lalu... ya Tuhan!!!

Aku membuka bibirku, ternganga karena masih tidak mampu mencerna semua ini dengan akal sehat. Tubuh Leonard Caradoc yang ada di depanku perlahan memudar. Hanya menyisakan sebuah bayangan yang semakin lama semakin transparan seiring dengan ingatanku yang kian menajam akan pernikahan naasku sendiri.

"Maafkan aku, Alanis. Kembalilah ke dunia di mana kau harus berpijak. Kedua anak kita membutuhkan mommy-nya."

"TIDAK!!! JANGAN PERGI AKU MOHON!!!" pekikku sambil berusaha menggapain dan memeluknya dengan kedua tangan. Tetapi aku seperti meraih udara hampa. Hampa tanpa isi. Ia benar-benar hanya sebuah bayang samar. "JANGAN TINGGALKAN AKU!!!" teriakku dengan kalap tidak peduli bahwa itu akan membuat pita suaraku robek. Aku luruh dalam tangis yang tak bertepi.

Bayangan Leonard Caradoc duduk di hadapanku. Ia meraih tanganku, tetapi aku tak bisa merasakan sentuhannya. Ia mengarahkan telapak tanganku di atas dadanya. Aku menahan napas dan menatap kilau hazel-nya tajam. Tidak ada detak di sana.

"Dengar, Sayang? Jantung ini tak lagi berdetak. Tetapi saat ini jantungku sudah memberi kehidupan baru padamu." Ia kemudian mengarahkan telapakku ke dadaku sendiri. Aku merasakan sebuah detak yang normal. Tidak terasa sakit seperti biasanya. Perih itu menghilang. Tetapi ada hal lain yang membuat aku tidak bisa menahan sakitnya. Hampa. Ya, rasa hampa tak berujung. Aku seperti kehilangan separuh jiwa.

Alanis "a forbidden love"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang