The Lost Part -- In The Arms of The Angel --

8.5K 769 119
                                    

--------------

Aku kehabisan kata indah, saat kematian akan menyambutku di depan gerbang megahnya...

--------------

Ia begitu cantik, dengan balutan gaun pengantin yang selalu aku dambakan. Gaun itu... yang aku beli saat usiaku 17 tahun. Kala aku membuat bayangan Inessa Feodora dalam imajinasiku. Bayangan yang selalu aku identikkan dengan dirinya. Percaya tidak percaya, sejak berumur 17 tahun, aku selalu mendambakan pernikahanku dengan Alanis. Membayangkan kehidupanku dan dia yang akan dipenuhi cinta bersama anak-anak kami.

Saat ini, aku dan dia telah memiliki buah cinta, yang selamanya akan menjadi sang malaikat pelindung. Yang selamanya akan menjadi simbol cinta kami. Yang tak akan lekang oleh waktu dan terus dikenang. Dan kini, aku akan memuaskan diriku untuk menatap mata birunya yang selalu memancarkan aura surga.

Di dalam kamar ini, yang mungkin akan menjadi kenangan terakhir kami kala ia mematut diri di hadapan cermin besar di samping ranjang. Aku berjalan pelan, mendekatinya dengan langkah gagah dan tegap dengan tuksedo hitam yang kukenakan. Aku mengembangkan senyumku, merasa bahagia bahwa sebentar lagi kedua putriku akan memiliki ayah yang bisa menggantikan posisiku. Oh tidak, sepertinya lebih tepat aku berpura-pura bahagia. Bukankah aku penuh dengan tipu muslihat?

Ia balas tersenyum padaku, menatapku dengan binar penuh cinta. Tetapi... binar itu begitu menyakitkan bagiku. Sesak, saat menyadari bahwa aku telah berdusta padanya. Dosaku memang tak pernah terampuni, neraka siap menyambutku dan penebusanku. Kami sudah berdiri berhadapan, saling menatap dengan intens. Kini tak ada lagi bentang jarak di antara kami. Aku telah menutupnya dengan menyatukan kedua bibir kami.

Aku melumat bibirnya lembut. Dengan hati, merasakan tiap manis yang selalu menjadi canduku. Ini... adalah ciuman terakhirku dengan Alanis. Sebelum ada bibir lain yang mengecupnya di hari-hari yang akan datang. Aku memejamkan mata, menarik pinggulnya sehingga semakin rapat dengan tubuhku. Aku memperdalam ciumanku. Tanpa permainan lidah. Karena aku hanya butuh untuk mencecap rasa bibirnya saja, agar aku bisa mengingatnya saat aku tak lagi berpijak di bumi.

Tik....

Tik...

Tik....

Lama, aku akhirnya merelakan ciuman itu berhenti. Detik terus berjalan dengan cepat. Kematianku sudah di depan mata. Kini aku hanya bisa menatap mata itu dengan binar bahagia yang sama. Tidak menyisakan jejak kesedihan. Agar ia tidak mengenang tangisku. Biarlah hanya tawa dan bahagiaku yang akan selalu ia pahat dalam memorinya.

Ia terkekeh pelan. Aku memandangnya dengan tatapan jenaka, mencoba mencari tahu apa yang membuatnya tertawa. Kemudian jemarinya merangkak ke wajahku, membelainya perlahan sebelum menghapus noda lipstick-nya yang tertinggal di bibirku.

"Pergilah dulu. Kita bertemu di depan altar gereja," katanya dengan manik mata biru laut yang menatap lurus ke dalam mata hazel-ku.

Sayang, seandainya aku bisa menghentikan waktu hanya untuk menatap lebih lama wajah cantikmu...

Aku mengangguk dan memandang kedua bayi kami. Langkahku pelan mendekati kedua kereta bayi mereka. Aku menunduk, mengambil Queen dan mendekapnya lama. Aku meletakkan bibirku di pipinya. Lama sekali. Sebelum bibirku merayap untuk mengecup bibir Queen. Aku tidak bisa lagi berpura-pura kuat saat berhadapan dengan anakku. Tetes air mata kembali turun. Aku menatap Laqueena dengan pedih berteman getir.

Bahkan sampai saat ini daddy tidak sanggup meberitahu mommy tentang penyakitmu, nak. Sanggupkah daddy melihat mommy menderita di kala ia juga sedang berjuang untuk tetap bertahan dan menyusui kalian dalam kondisinya yang kritis? Semoga ketika kalian dewasa nanti, kalian memahami mengapa daddy memilih jalan ini.

Alanis "a forbidden love"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang