-- 9 -- Threat

20.2K 1.3K 93
                                    

----------

Aku berada di gerbang kegelapan. Rasa pengap menyergap diri. Ingin rasanya untuk pergi. Tetapi kaki tak mampu lagi berlari. Aku membeku di sini. Menunggu malaikat maut memanggil-manggil namaku dengan melodi kematian.

----------

Rasanya tubuhku remuk saat merasakan Leon begitu mendominasi dan berada dalam jarak yang sangat dekat. Aku merasa lemah, dan aku merasa kecil sekali di hadapannya. Aku seperti berada dalam batas surga dan neraka, es dan api, untuk kesekian kali. Dua elemen yang kini melebur menjadi satu. Menimbulkan rasa asing yang bermain-main di dalam seluruh aliran darah dan syarafku. Menari dan menggelitik urat nadiku.

Ia bermain-main dengan tatapannya. Seolah menelanjangiku, hazel yang tak akan pernah kehilangan bias sinarnya. Bias sinar yang kini semakin kelam, tetapi mampu menyedotku masuk semakin dalam. Aku yakin saat ini aku sudah jatuh ke dasar neraka. Menikmati api yang melahapku dengan ganas. Menghanguskan tubuhku. Meleburkan belulangku. Aku... tak berbentuk dalam rengkuhan dan belaian lembut tatap hitamnya.

Aku beku di dalam bongkahan gunung es. Tak mampu bergerak. Hanya diam menerima setiap rasa dingin yang ikut mengaliri darahku. Otak dan ragaku beku. Kini jiwa seakan tersedot ke dalam dinginnya elemen yang ia ciptakan. Aku menggigil, menggigil akan hawa dingin yang berhasil ia ciptakan.

Aku terbuai, bermain dengan perasaanku sendiri. Aku sebut apa rasa asing yang kini menggelitik hanya dengan menatap wajahnya? Dosa seakan semakin samar dalam pikiranku. Aku tak peduli akan batas-batas nilai dan moral yang berlaku. Aku... menginginkannya. Ini jelas salah, tetapi benteng pertahananku hancur sudah. Aku tak mampu lagi bertahan. Aku jatuh, menyerah ke dalam pesonanya yang memabukkan.

"Leon...," desisku dikalahkan oleh rasa asing yang mendominasi.

Bagaikan berada dalam lantai dansa dengan irama yang sangat membuai, aku terlena, masuk ke dalam segala arena es dan api yang ia ciptakan. Yang mampu memporak porandakan ragaku dalam satu kedipan mata.

"Kuperingatkan sekali lagi, jangan pernah bermain api dengan Leonard Caradoc!" Tiap kata yang keluar dari bibirnya, mampu mengoyakkan diriku menjadi serpihan kecil. Setiap ancamannya, menjadi sebuah mata pedang yang siap menggores nadiku.

Aku merasakan kristal bening yang sudah berteriak ingin keluar. Tetapi aku menahan tangisanku. Aku mencoba mengatur napasku yang sedikit memburu. Tetapi tetap saja jantungku terus bekerja dengan tidak normal. Ia memompa darahku lebih cepat. Detaknya tak beraturan.

Nyeri mulai menguasai diri. Aku memegang dadaku sendiri. Jangan sekarang, aku mohon, jangan kambuh di saat seperti ini. Aku memejamkan mata, dan seketika kristal bening itu menetes turun tanpa bisa ditahan.

"Menangislah, Alanis! Sudah aku katakan ini masih peringatan. Dan hari-hari ke depan, mungkin akan lebih banyak air mata yang kau keluarkan!" ancamnya dengan tanpa penyesalan sedikitpun.

"Leon... apa dosaku padamu sehingga kau begitu tega memperlakukan aku seperti ini?" Aku menggigit bibirku sendiri.

"Justru karena kau tidak memiliki dosa apa-apa padaku sehingga aku melakukan ini padamu! Aku benci, Alanis, aku benci dengan wajah malaikatmu itu! Aku benci saat kau selalu memandangku dengan tatapan malaikatmu! Kau bukan malaikat, dan selamanya tidak akan pernah menjadi malaikat dalam hidupku! Jadi jangan pernah berharap untuk bisa menolongku, Alanis!"

Aku menggigit bibirku semakin keras. Membiarkan darah menguar dan menciptakan rasa asin yang memenuhi rongga mulutku. Lalu... apa yang harus aku lakukan untuk menyelamatkanmu dari keterpurukanmu sendiri Leon? Kau... seperti ini sama dengan kau sedang menghancurkan dirimu sendiri! jeritku dalam hati.

Alanis "a forbidden love"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang