The Lost Part -- Hurt --

8.7K 669 193
                                    

-------

Hanya dalam rengkuhan kematian, penebusanku berlaku...

-------

Bagaimana rasanya menunggu bulan-bulan menuju kematian? Apakah pernah terbayangkan bagaimana kehidupan setelah kematian itu? Bagaimana surga dan bagaimana neraka? Aku tidak peduli akan seperti apa kehidupan kematianku pada akhirnya nanti, yang aku pedulikan saat ini adalah bagaimana aku melewati batas waktu yang tersisa untuk benar-benar memberikan cinta yang penuh bagi Alanis, perempuan yang telah menjadi alasan aku bisa bertahan hidup sejauh ini.

Aku memandang gumpalan salju yang kini berada ditanganku. Di tempat biasanya, dibalik pohon ini, memandang perempuanku yang sedang duduk di kursi taman sambil memandangi anak-anak yang bermain lempar salju dan terkadang mengelus perutnya yang buncit. Aku menggigit bibir, mengambil sesuatu dari dalam saku mantel tebalku. Sebuah cincin. Cincin yang telah diberikan oleh Kenny ketika aku pingsan di rumah sakit beberapa hari yang lalu.

Mungkin ini hanya sebuah cincin, tetapi bagiku cincin ini memiliki makna yang sangat dalam. Cincin ini adalah simbol bagaimana besarnya cintaku terhadap Alanis. Cincin yang sudah aku miliki ketika berumur 17 tahun dan akan aku hadiahkan sebagai kado ulang tahunnya. Tetapi aku berpikir, pantaskah di usia itu aku memberikan seorang perempuan sebuah cincin?

Walaupun aku begitu menginginkannya tetapi aku tidak mau Alanis menganggap cincin ini sebagai cincin tanda persaudaraan. Sehingga aku memutuskan untuk menyimpannya, di dalam sebuah kotak beludru berwarna merah dan akan aku berikan kepadanya ketika saatnya tiba.

Dan cincin ini pernah terpasang di jari manisnya saat kami mengucapkan janji pernikahan di St. Isaac. Cincin yang sama yang pada akhirnya dilepaskan olehnya ketika aku dengan sepihak membatalkan pernikahannya. Cincin yang sama yang pada akhirnya diam-diam diambil oleh Kenny dan dikembalikan kepadaku.

Berjuang... itulah hal yang aku ingat ketika menatap cincin ini. Akankah aku memperjuangkannya? Dosaku terlalu tak terampuni. Beranikah aku mempertahankannya?

Aku menghela napas panjang, terlihat uap es yang berhembus dari bibirku seperti asap. Aku membetulkan letak tubuhku yang tidak nyaman dengan kruk ini. Mataku terus memandang mata biru Alanis yang menatap kosong dan terkadang tersenyum samar saat ia menatap anak-anak itu.

Tuhan, aku ingin merengkuhnya saat ini. Tetapi dengan keadaanku yang sekarang aku benar-benar tidak bisa menunjukkan diriku padanya. Ia tidak boleh tahu tentang keadaanku saat ini sebelum aku benar-benar sembuh. Aku melihat Alanis yang beranjak dari bangkunya, mendorong tabung oksigennya seorang diri untuk kembali lagi ke apartemen Kenny. Aku mengangkat lenganku dan melihat waktu telah berjalan cepat. Sore telah menempati ruangannya dan itulah saat Kenny kembali.

Aku menekan dadaku sendiri yang terasa sakit. Sampai kapan aku akan terus bersembunyi di sini hanya untuk bisa menatapnya? Sementara detik tak akan mengenal kegundahanku. Detik tak akan mengenal apa itu kata henti. Dan tiga bulan... waktu yang tersisa untuk aku bisa memutuskan semuanya. Kematian atau tetap bertahan.

***

Langkah kakiku terasa begitu berat saat aku melangkah menuju teras rumah Daddy Yanez. Aku melihat pintu rumah itu terbuka. Aku melengok ke dalam dan mengetuk pintu. Sepertinya Mommy Claire menyadari keberadaanku, ia keluar dari dalam rumah dan menyambutku dengan senyum lembutnya.

"Leon... mengapa tidak bilang jika akan kemari? Pasti Yanez akan menjemputmu." Mommy Claire mempersilahkan aku masuk. Aku melepas boots-ku dan menatap ke arah ruang tengah. Daddy Yanez sedang tenggelam dalam majalah atomotifnya.

Alanis "a forbidden love"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang