--------
Aku rela menjadi penopang kala dukanya. Menyimpan sendiri dukaku, dan berperan sebaik mungkin untuk mencoba menghapus laranya.
--------
Apakah kebahagiaan itu abadi? Apakah memang tidak akan ada kesedihan ketika sebuah kisah sudah ditutup dengan kata akhir? Nyatanya tidak. Itulah yang terjadi dalam kehidupanku. Ketika aku telah menutup lembar kisah bahagiaku bersama dengan sang terkasih--yang kini berada dalam dekapan bumi--aku berpikir bahwa kebahagiaan itu ternyata semu. Aku berpura-pura kuat. Menerima segalanya dengan lapang. Menganggap bahwa aku bisa menghadapi semuanya.
Nyatanya aku lemah. Aku bahkan tidak sanggup ketika kata kehilangan itu mengambil seseorang yang paling berharga. Aku tidak benar-benar merelakan. Aku tidak benar-benar sanggup kehilangan. Aku kehilangan hidupku tanpanya. Dan saat ini hanya dua orang yang mampu membuat aku bertahan, Leonard Caradoc dan Khareena Caradoc.
Apa aku tanpa mereka? Apakah aku bisa kuat? Apakah aku bisa tetap bertahan dengan penyakit mematikan yang menggerogoti kekebalan tubuhku? Bisa bertahan sampai sekarang aku bahkan terlalu bersyukur. Ini adalah hadiah atau bahkah mujizat dari Tuhan. Apakah penderita HIV sanggup hidup belasan tahun dengan virus-virus yang semakin hari semakin menyerang segala sistem yang akan membuat tubuh tidak berdaya? Nyatanya aku bisa.
Tetapi saat ini, aku tidak memiliki penopang lagi. Justru aku yang menjadi penopang bagi kedua anakku. Seperti berjalan hanya dengan satu kaki, aku timpang. Aku tidak sanggup lagi berjalan seimbang. Karena keseimbanganku telah pergi kepada langit. Sampai kapan aku bertahan hidup? Sampai kapan pada akhirnya aku dapat kembali merengkuh cintaku yang telah pergi?
Tanganku gemetar, bukan karena dingin yang menusuk tulang. Tetapi karena aku merasakan desiran kehangatan kala aku meletakkan buket bunga mawar putih di atas sebuah batu berukir indah dengan sebuah nama yang telah abadi di dalam sana.
Tatyana Shavarostov Fyodorovna
Nama asli Keylis. Yang terukir manis bersama dengan sebuah foto pernikahan kami dulu di St. Isaac. Aku tersenyum pedih. Aku dan dia memang pernah berjanji, siapa pun yang pergi terlebih dahulu di antara kami, maka kami akan tetap menggunakan foto pernikahan kami di atas nisan ukiran nama kami. Aku memandang makam kosong yang berada di sisi Keylis. Dengan nisan yang masih tak bernama. Ya, di situlah aku akan menghabiskan hari akhirku. Di sisi istriku. Berharap bahwa akan ada kehidupan lagi setelah kematian. Tetapi aku tahu, reinkarnasi hanya akan ada bagai sebuah legenda kuno.
"Apa kabarmu, Sayang?" parau aku menyapanya. Dan ia hanya membalas dengan desiran hawa hangat yang bertiup di tengkukku.
Aku mengelus wajahnya. Mengingat kenangan-kenangan manis saat dulu kami masih bersama. Setiap hari yang selalu dipenuhi dengan cinta dan juga perjuangan untuk tetap bertahan hidup demi kedua anak kami.
Key, kuatkanlah aku menghadapi semua ini. Tetaplah berada di sisiku. Jadilah bayanganku. Peluklah aku bersama anak-anak kita saat aku tidak lagi sanggup menghadapi semuanya.
Aku menghapus air mata yang tidak pernah kuharapkan kembali jatuh di atas pipiku. Aku segera berbalik pergi. Terlalu lama di sini akan membuat aku kacau dan pada akhirnya memilih untuk bunuh diri. Lebih baik aku pergi dan kembali ke rumah sakit untuk melihat kondisi Leon.
Saat aku berbalik, seseorang yang ada dalam pikiranku sudah berada beberapa meter dariku. Aku menatapnya dengan getir. Melihat langkahnya yang timpang hanya dengan bantuan kruk. Melihat ia yang tersenyum tegar dan berjalan pelan menuju sebuah makam yang akan selalu ia kunjungi di kala hatinya dilanda kekalutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alanis "a forbidden love"
RomanceDi bawah langit Rusia Kita meretas cinta Meleburkan batas ketidakbenaran Mengisi tiap gores kidung kehidupan Hingga takdir menentukan jalannya... Di bawah langit Rusia Aku, Alanis Caradoc... Dan inilah kisah cinta terlarangku... ...