Bandara Internasional Pulkovo,St. Petersburg
Semuanyaterasa begitu cepat. Dan kini aku sudah berada jauh dari kota Moskow. Hawadingin kota St. Petersburg menyapaku dengan salam pedihnya. Aku memandangsekelilingku dengan gamang. Kesendirian ini sungguh menusuk diri hinggamembuatku menggigil. Penerbangan panjang yang memelahkan kembali membuat detakjantungku tidak normal.
Rasamual tiba-tiba memenuhi lambungku. Padahal kosong memenuhi ruang pencernaanku.Ah, aku lupa, aku memang jarang makan sehingga tubuhku sudah kehilangan banyakberat badan. Mataku berkelana untuk mencari toilet terdekat dan aku segeraberlari masuk ke dalam saat menemukannya.
"Hoeeek...hoeekk...." Aku memuntahkan seluruh isi perutku di dalam wastafel meskipuntidak banyak. Aku mengambil tissue dan mengusap bibirku. Terdiam,melalui cermin aku memandang ngeri diriku yang tampak seperti mayat hidup.Lingkar hitam di bawah mata dan bibir pucat tanpa warna itu begitu mengerikan.
Akumembasuh wajahku dengan air agar terlihat lebih segar dan menampakkan ronanya,setelah itu aku berjalan keluar toilet. Masih menjelajahi sekeliling, matakumencari-cari seseorang yang mungkin kini juga sedang mencariku. Aku menaikkansudut bibir singkat saat melihat seseorang itu seperti sedang kebingunganmencari-cari di mana aku.
"Kenneth!"panggilku sambil menepuk bahunya dari belakang.
Iamenoleh dan menghela napas lega. "Kak Alanis! Ke mana saja? Baru saja akupergi untuk membeli roti dan minum, kakak sudah menghilang? Aku... takut sekalitidak bisa menemukan kakak di bandara sebesar ini," gerutu Kenneth sambilmenyerahkan segelas cokelat panas dan bungkusan kertas berisi roti.
"Akutidak akan hilang, bocah kecil. Aku ini sudah dewasa," balasku dengancemberut. Aku memang sengaja bersikap biasa untuk menutupi kekalutan dankesedihanku saat ini.
"Janganpernah memanggilku bocah kecil lagi, Kak. Aku juga sudah dewasa."
Akukemudian mengikuti langkahnya untuk menuju mobil. Saat sudah berada di dalammobil, aku melihat bayangan jangkung itu yang duduk di kursi belakang.Pandangannya kosong. Sama seperti ketika kami masih berada di Moskow dan didalam pesawat. Jiwanya seperti tidak berada di dalam raga. Ragu, aku akhirnyamembuka pintu depan di samping Kenneth.
"Duduklahdi belakang, Kak. Temani dia. Dia sangat membutuhkanmu. Aku tahu saat ini iabegitu kacau. Bahkan aku sangsi ia dapat menangkap apa yang kitabicarakan."
Akumengangguk dan menggigit bibirku yang masih terasa perih karena robek akibatgigitan Leon. Aku duduk di samping Leon, menggenggam jemarinya yang dingin.Bahkan lebih dingin dibanding hawa saat ini. ia sudah mengenakan setelan jashitam rapi walaupun rambut panjang hitamnya masih berantakan. Jika dipikir-pikiraku masih lebih bersyukur, karena wajah Leon rupanya lebih menyedihkandibanding wajahku.
Kennethtiba-tiba melemparkan sebuah setelan dress panjang berwarna hitam. Akumengambilnya dengan sebelah tanganku. "Kenakan, Kak. Kita tidak memiliki waktulagi."
Akumemandang diriku sendiri dengan sedih. Aku bahkan masih mengenakan pakaiankuyang aku pakai ketika melarikan diri di apartemen Kak Kenny karena memang akutidak membawa pakaian lain dan selama berada bersama Leon, aku lebih seringmengenakan kemejanya. Tanpa malu lagi, aku segera memakai dress itu.Benar kata Kenneth, sudah tidak ada waktu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alanis "a forbidden love"
RomanceDi bawah langit Rusia Kita meretas cinta Meleburkan batas ketidakbenaran Mengisi tiap gores kidung kehidupan Hingga takdir menentukan jalannya... Di bawah langit Rusia Aku, Alanis Caradoc... Dan inilah kisah cinta terlarangku... ...