----------
Detak ini tak normal, setiap berada di dekatmu. Lalu, kusebut apa rasa asing ini?
----------
Ah, akhirnya kita bertemu kembali, Leonard Caradoc...
Seperti yang aku pikirkan sebelum tiba di sini, ia sungguh... tampan. Tampannya tidak main-main. Dengan rambut tebal hitam yang sedikit panjang dengan sedikit poni yang terjuntai menutupi dahi. Alis tebal dan bola mata hazel yang sangat jernih dan tajam. Bibir tipis kemerahan yang penuh. Kumis dan janggut tipis yang semakin menunjukkan kemaskulinannya.
Dan... tubuh atletis dengan perut six pack yang kini terpampang jelas di depan mataku. Yang membuat aku meneguk ludahku sendiri. Ya, ia hanya mengenakan celana pendek selutut. Aku bisa melihat lukisan tato yang memenuhi kedua lengan tangannya dan tato berbentuk sayap malaikat yang ada di atas dada bidangnya. Sejak kapan ia memakai tato?
Sepuluh tahun yang lalu ia hanyalah bocah ingusan yang sering aku goda. Dan tanggapannya? Kadang ia hanya acuh kemudian pergi begitu saja. Sejak kecil, ia memang sudah dingin dan kaku. Entah jika sekarang ia bisa berubah menjadi lelaki yang hangat. Seperti yang pernah aku bilang, bukankah usia juga terkadang bisa mempengaruhi sikap seseorang?
Tetapi melihat mata tajam elangnya yang menatapku dengan cara seperti itu, aku tidak yakin ia benar-benar berubah menjadi lelaki yang hangat. Dari kejauhan saja aku bisa melihat bongkahan gunung es tak kasat mata yang melingkupinya. Tiba-tiba tubuhku ikut menjadi dingin.
Aku masih menggenggam erat pegangan koperku. Tidak beranjak dari tempatku. Tidak juga mencoba untuk bersuara. Biarlah ia yang memulai duluan. Biarlah ia yang membuka kata. Sekarang aku hanya menunggu. Reaksinya masih sama, ia juga terpaku di tempatnya.
Suara derit lantai kayu kembali terdengar, ia melangkahkan kakinya perlahan. Sangat perlahan hingga rasanya lama sekali tubuh jangkung itu mendekati aku seperti gerakan slow motion. Aku mengabaikan suara detak jantung yang kian cepat. Tidak, harusnya tidak boleh begini. Detak jantungku tidak pernah berpacu dengan cepat seperti ini ketika aku berhadapan dengan teman laki-lakiku yang lain. Tetapi mengapa kali ini berbeda?
"Lelah?"
Hanya satu kata yang keluar dari bibirnya dan itu mungkin mampu membuatku memeleh. Aku hanya bisa bersyukur bahwa tanganku masih berpegangan pada pegangan koper sehingga tubuhku tidak luruh ke lantai kayu. Dengan kikuk, aku mengangguk perlahan.
Ia menarik satu sudut bibirnya membentuk senyuman tipis. Senyum pertamanya sejak sepuluh tahun yang lalu. Ah, mungkin lebih dari itu. Dulu saja aku sangat jarang melihatnya bisa tersenyum. Dan beruntung sekali aku disambut oleh senyuman itu. Rasa lelahku langsung hilang seketika.
Tangannya terulur untuk mengambil koperku, tanpa sengaja kulit kami bersentuhan. Tubuhku langsung tersentak. Rasanya seperti ada aliran listrik dalam kekuatan besar yang menyengat. Mengapa bertemu dengannya saja reaksiku benar-benar berlebihan. Demi Tuhan, dia sepupuku sendiri! Dan aku tahu ini salah.
Aku menarik napas dalam, mencoba menetralkan diriku sendiri. Mencoba untuk tidak berpikir yang macam-macam. Dan mencoba untuk bersikap biasa, layaknya saudara yang lama tidak bertemu. Semoga saja aku bisa, bukahkah aku pernah ikut theater di kampusku yang lama, harusnya aktingku bagus.
"Ayo, aku antar ke kamar." Suara jernihnya mampu menghipnotisku. Membuat aku terdiam dan hanya ikut mengekor di belakangnya. Berada dalam jarak sedekat ini dan di belakangnya membuatku merasa bagai kurcaci kecil. Ia tinggi sekali, bahkan untuk melihat wajahnya saja aku harus mendongakkan kepala. Apa aku yang terlalu pendek? Entahlah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alanis "a forbidden love"
Любовные романыDi bawah langit Rusia Kita meretas cinta Meleburkan batas ketidakbenaran Mengisi tiap gores kidung kehidupan Hingga takdir menentukan jalannya... Di bawah langit Rusia Aku, Alanis Caradoc... Dan inilah kisah cinta terlarangku... ...