----------
Sesak merajai jantung, denyutnya menorehkan perih, aliran darah tersendat menuju nadi, suplai oksigen berkurang pada otak dan itu membuat aku... hampir mati.
----------
Seminggu rasanya bagaikan di penjara tanpa jeruji besi. Aku begitu baik mengenal daddy, bukan daddy namanya jika tidak bisa melakukan apa yang ia kehendaki. Dan saat ini ia menghendaki aku untuk tidak bisa bertemu dengan suamiku.
Tersiksa? Pasti.
Menangis? Hampir sepanjang waktu aku menangis hingga saat ini air mataku telah habis mengering.
Jiwaku mati seiring dengan menghilangnya Leon dari hadapanku. Aku hanya butuh untuk melihatnya. Sebentar saja. Biar aku melihat wajahnya, untuk bisa mensuplai oksigen di dalam otakku. Karena ia adalah oksigenku, ia adalah napasku. Dan tanpa dirinya, aku kehilangan separuh diriku.
Aku memandang mendung yang seakan enggan untuk membuka langit. Cerah kehilangan warnanya dan hanya berbalut abu yang semakin pekat. Kepalaku tengadah, berharap rintik hujan turun untuk menghapus air mataku yang nyatanya tak bisa mengering.
Tak lama, Tuhan seperti mendengar doaku. Kristal air dari langit itu turun untuk memandikan tanah di bawahnya. Aku tersenyum pedih. Aku melepaskan selang oksigen yang kini terpasang di hidungku. Oksigen yang mulai saat ini akan menjadi sahabat baruku yang membantuku untuk tetap bertahan hidup. Aku mengulurkan tanganku, menunggu tetes kristal itu turun untuk menghantam langsung pada pori kulitku.
Tetes air hujan ini telah memakan detik yang tak mau berhenti. Lama, aku merasakan gerimis yang mulai mederas. Senyum pedihku semakin lebar, tanda bahwa aku menyampaikan salam pilu pada langit dan Tuhan. Aku membayangkan bahwa uluran tanganku akan disambut oleh suami yang saat ini aku bahkan tidak tahu ia ada di mana.
Kenanganku berputar, saat Leon menghapus air mataku di bawah hujan dengan tetesan air langit. Dan inilah yang aku lakukan sekarang. berharap langit kembali bisa menghapuskan segala duka. Dan ketika gerimis itu berhenti, maka aku akan menyambut indahnya pelangi.
"ALANIS!!! ASTAGA APA YANG KAU LAKUKAN?!!" Aku tersentak saat mendengar suara seseorang yang begitu aku kenal. Aku membeku seketika. Aku merasakan tanganku telah tersambut. Sebuah jemari hangat yang kini menggenggam. Sebuah mata biru laut yang memandangku dengan tatap khawatirnya.
"K-Kak Kenny...." Desauku yang lirih dan kalah dengan suara tetes hujan.
Tanpa menunggu apa-apa lagi Kak Kenny segera menggendong aku dari kursi rodaku dan tak lupa menggeret tabung oksigenku yang diletakkan pada sebuah tempat beroda yang sepertinya akan selalu aku bawa di sisa hidupku.
"Sugar!" kini suara daddy yang menggema memenuhi ruang ini. Ia berlari dan membantu Kak Kenny untuk membawa tubuhku dari taman belakang rumah. Sementara Kak Kenny mengangkat tempat tabung oksigen itu dan memasangkan selangnya kembali ke hidungku.
Daddy membawaku masuk ke dalam kamar. Aku memang sudah dipindahkan ke rumah. Hanya satu hari aku di rawat di rumah sakit dan daddy memutuskan untuk melakukan rawat jalan dengan membawa peralatan yang diperlukan dari rumah sakit termasuk tabung oksigen sialan ini. Ia juga meminta Kak Kenny menjadi dokter khusus yang merawat aku sehingga sejak seminggu yang lalu aku memang banyak menghabiskan waktuku dengan menjalani perawatan dengan Kak Kenny.
"Alanis, astaga!" Kini mommy yang berteriak histeris saat melihat aku yang sudah basah kuyup. Seperti mengetahui bahwa situasi sedang tidak baik, Kak Kenny memilih untuk menyingkir setelah meletakkan tabung oksigenku di sisi ranjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alanis "a forbidden love"
RomantizmDi bawah langit Rusia Kita meretas cinta Meleburkan batas ketidakbenaran Mengisi tiap gores kidung kehidupan Hingga takdir menentukan jalannya... Di bawah langit Rusia Aku, Alanis Caradoc... Dan inilah kisah cinta terlarangku... ...