-- 19 -- Our Blood

16.7K 1K 89
                                    

----------

Cahaya dan kegelapan merekah dalam sebuah pilihan. Dan aku, menggenggam pekat yang membawaku terjerumus semakin dalam kepada sang iblis.

----------

Pada akhirnya, aku memilih untuk mengikuti Leon kembali pulang. Meski ada rasa takut saat tangan dinginnya menjerat jemariku. Terlebih saat ia menyeretku ke dalam jaguar-nya, membawaku pergi meninggalkan surgaku semakin menjauh. Aku tahu, tanganku tak akan sanggup lagi menggapai surga itu. Kini jemariku telah terjalin dengan jemari Leon. Dan aku yakin, hanya lewat genggamannya saja ia mampu menguasai dan menyedot seluruh jiwaku.

Tubuhku bergetar saat merasakan dingin air conditioner mobil yang sengaja dinyalakan oleh Leon. Entah sengaja menyiksaku atau memang ia merasa panas. Tetapi jika ia kegerahan, itu sungguh tidak mungkin, karena di luar hujan dan hawa memang cukup dingin. Aku mencoba untuk memeluk diriku sendiri. Dengan pakaian yang masih basah ini rasanya aku seperti mati beku.

Melihat aku yang menggigil, tiba-tiba Leon melepaskan kemejanya hingga ia hanya bertelanjang dada. Ia kemudian melemparkan kemejanya begitu saja ke arahku. Aku menerima kemeja yang cukup tebal itu. Memakainya mungkin akan mengurangi rasa dingin, tetapi mengingat bagaimana ia memperlakukan aku, aku segera melemparkan kemeja itu kembali ke arahnya dan tanpa berkata-kata, aku memilih untuk memandang jendela kaca yang murai dipenuhi oleh kristal-kristal air hujan.

"Pakailah, Alanis, perjalanan kita cukup jauh." Ia berujar datar sambil fokus dengan kemudinya.

Aku tidak menggubris. Entah sampai kapan aku bertahan dalam kebekuan yang menyiksa ini. Aku tahu, mungkin saat ini wajahku sudah seperti mayat. Bahkan aku bisa merasakan kulitku yang sangat dingin dan juga kabut putih dalam tiap hembusan napasku. Tetapi keadaan ini jauh lebih baik dibandingkan aku harus menuruti perkataannya. Aku ingin ia melihatku mati perlahan-lahan.

Tubuhku terjerembab ke depan saat ia menepikan mobil dengan sangat mendadak sehingga menimbulkan bunyi berdecit yang terasa sakit di dengar. Aku menoleh ke arahnya dan mendapati ia sudah memandangku dengan tatapan marah. "Pilihannya hanya ada dua. Pakai kemejaku atau lepas bajumu."

Aku menatapnya lama, tanpa ekspresi. Aku tidak mempercayai bahwa Leon yang sekarang benar-benar sudah berubah. Lelaki kecil yang dulu selalu melindungiku justru saat ini mencari banyak cara untuk menyakitiku. Aku mengepalkan tanganku yang bergetar. Lalu secara perlahan, jemariku merangkak naik untuk mulai melepaskan kancing bajuku satu persatu, hingga aku melepaskan dengan sempurna baju basah itu dan melemparkannya ke wajah leon dengan keras.

"Aku memilih pilihan kedua," kataku datar sambil memeluk diriku sendiri yang hanya tinggal berbalut bra tipis dan celana kain basah.

Leon mengambil pakaian basahku yang mendarat manis di wajahnya dan melemparkannya ke jok belakang bersama dengan kemejanya. Ia lalu tersenyum memandangku. "Aku suka keadaan seperti ini, Sayang. Semakin kau melawanku, kau justru semakin membuatku tertantang." Ia kemudian mendekatkan wajahnya dan mencium bibirku sekilas sebelum kembali mengemudikan mobilnya lagi.

Keheningan kembali menyapa kami dalam sisa perjalanan ini. Aku memilih untuk melihat ke arah jalan dibanding harus melihat wajah Leon yang selalu tampak suram. Aku bisa melihat buku-buku jarinya yang memutih saat ia memegang setir. Mungkin terlambat jika aku harus menyesali keputusanku untuk memilih Leon. Karena aku tidak ingin menjerat Kak Kenny masuk ke dalam lingkaran setan yang sama. Biarlah hanya aku dan Leon yang lebur bersama dalam pekatnya hitam.

***

Di mana aku? Mengapa rasanya tempat ini begitu asing? Aku melihat tirai-tirai yang berkibar karena hembusan angin sejuk. Cahaya sang pagi yang menembus kain putih tipis itu mampu menyilaukan mataku. Aku memincingkan mata. Cahaya lebih banyak masuk ke dalam ruang penglihatanku.

Alanis "a forbidden love"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang