Leonard POV
----------
Cara terbaik untuk menutupi dosa, adalah melimpahkan kesalahan itu agar orang lain yang merasakannya!
----------
"Aku selalu mencintaimu, Inessa Feodora."
Oh sial, apakah aku menyebutkan nama perempuan itu lagi? Sepertinya iya. Tetapi aku memang sengaja. Aku paling benci mengumbar perasaanku. Tetapi saat ini aku tidak bisa menahannya lagi.
Rasanya aku tidak ingin melepaskannya. Entah sudah berapa lama aku tidak merasakan kehangatan ini lagi. Tiga tahun. Ya, bagiku itu terasa sangat lama. Sejak aku kehilangan Inessa Feodora. Kekasih, istri, sekaligus calon ibu dari anakku. Sayangnya takdir berkata lain. Ia pergi, dimensi kami sudah berbeda. Mungkin salah satu untuk bisa bertemu dengannya adalah dengan menjemput kematianku sendiri.
Lalu, apakah perempuan yang kini berada di dekapanku adalah alat pelarianku dari Inessa? Dengan tegas aku menjawab tidak. Alanis Caradoc, adalah satu-satunya alasan aku bisa mencintai seorang Inessa Feodora. Karena di dalam diri Inessa, aku menemukan dirinya. Karena Alanis Caradoc, adalah cinta pertamaku sejak aku berumur 12 tahun!
"Lepaskan aku!!!" Ia mencoba melepaskan dekapanku dan penyatuan tubuh kami.
Sepertinya ia marah saat aku dengan sengaja menyebutkan nama Inessa Feodora. Tentu saja, perempuan mana yang tidak marah saat selesai bercinta justru sang lelaki menyebutkan kata cinta untuk perempuan lain. Ia pantas marah padaku, dan aku memang ingin membuatnya marah padaku.
Apa artinya? Ia cemburu! Tentu saja. Aku sudah bisa merasakannya dari pandangannya terhadap Cyzerine Zanneti. Aku bukan lelaki bodoh yang bisa seenaknya bercinta dengan sembarang perempuan. Hanya ada dua wanita dalam hidupku, Alanis dan Inessa.
Katakan saja aku gila. Ya, aku mengakui aku memang gila. Dan perempuan dalam dekapanku inilah alasanku menjadi gila. Sejak awal hanya dia. Sejak 12 tahun yang lalu. Sejak ia memporakporandakan hatiku yang harusnya masih belum boleh mengenal apa itu cinta.
"Aku ingin memelukmu lebih lama, Inessa," bisikku sekali lagi dengan segaja. Tidak lupa, aku menggigit daun telinganya.
"Leon, kumohon lepaskan. Aku bukan Inessa." Ia mulai terisak dan menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Menangislah, Sayang. Suara tangisanmu sungguh merdu di telingaku.
Aku menciumi daun telinganya. Aku yakin ia tidak dapat menolakku. Mulutnya bisa berkata tidak, tetapi gesture tubuhnya tidak bisa berbohong.
"Tidurlah," bisikku lagi dengan lembut.
Ia memiringkan tubuhnya untuk membelakangiku. Aku bisa melihat dengan jelas lukisanku di punggungnya. Sebuah gambar abstrak yang hanya aku lukis dengan darahku yang kini sudah mengering di kulitnya. Aku menempelkan dadaku di punggungnya sambil tidak melepaskan dekapanku pada pinggulnya. Mencium tengkuknya pelan sebelum memejamkan mataku.
Tetapi ia menyentakkan aku dengan keras. Aku lengah dan akhirnya ia berhasil lari dari lengan kokohku. Ia mengambil kain putih untuk menyelimuti tubuhnya. Aku bisa melihat matanya yang menatap nyalang ke arahku.
"Kau gila Leonard Caradoc!!! Kau bercinta denganku, mengatakan bahwa aku jalang dan tidak perawan, lalu pada akhirnya kau menganggapku wanita lain!!!" teriaknya histeris. Ia jatuh terduduk sambil kembali menangis.
"Kau memang tidak perawan Alanis," jawabku dengan santai sambil melemparkan senyum sinis.
Ia terkejut dengan apa yang aku katakan dan melihat ke dalam dirinya sendiri. Lalu sedetik kemudian ia mengetatkan kain putih itu lagi di tubuhnya. Ingin rasanya aku memeluk dan kembali menarik tubuh mungil itu dalam dekapanku, tetapi aku tidak mungkin melakukannya di saat ia sudah menolakku mentah-mentah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alanis "a forbidden love"
RomantizmDi bawah langit Rusia Kita meretas cinta Meleburkan batas ketidakbenaran Mengisi tiap gores kidung kehidupan Hingga takdir menentukan jalannya... Di bawah langit Rusia Aku, Alanis Caradoc... Dan inilah kisah cinta terlarangku... ...