----------
Tangisan pilu tersembunyi dalam sebuah bingkai berisikan kanvas dengan goresan kuas menyayat hati. Tak hanya suara yang mampu membisikkan rasa. Namun dalam lukisan, rasa pedih itu telah terpancar sempurna.
----------
Dekapan hangat ini membuatku enggan untuk terjaga. Lengan kokoh ini membuatku enggan untuk kembali berpijak. Biarlah aku merasakan lebih lama. Biarlah aku meringkuk dalam damai ini. Sungguh rasanya aku tidak ingin membuka mataku. Entah sejak kapan Leon berbalik memelukku. Aku masih bisa mendengarkan suara dengkur halusnya. Aku masih bisa merasakan napasnya yang teratur.
Tetapi aku tahu, aku tidak bisa terus begini. Tidak bangun itu sama dengan membuat aku semakin terlena akan dirinya. Sekarang memang semua tergantung padaku, aku bisa saja menjerumuskan diriku sendiri terlalu jauh, tetapi aku tidak mau. Aku tidak mau jatuh dan terpuruk oleh perasaanku sendiri.
Aku menyingkirkan satu tangannya yang ada di atas perutku dan segera beranjak dari ranjang. Aku melihat Khareena masih pulas dengan tidurnya. Aku berjalan mendekat dan mencium keningnya cepat sebelum keluar dari kamar dan menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Aku cukup tahu diri, tinggal di sini itu berarti aku juga harus memikirkan kebutuhan mereka, termasuk sarapan.
Saat akan mengambil roti tawar dari dalam lemari makan, aku mendengar suara ketukan pintu. Heras juga ada tamu di pagi-pagi buta begini. Dengan langkah cepat aku berjalan untuk membukakan pintu dan ternganga saat melihat siapa yang kini tersenyum dengan wajah bahagia di balik pintu itu.
Aku menghela napas penuh penyesalan, jika tahu dia yang datang lebih baik aku tidak membukakan pintu. Sepertinya aku harus memasang kamera pengintai tamu untuk ke depannya seperti yang ada di dalam rumahku.
"Apakah Leonard ada?" suaranya begitu di buat-buat. Ia menaikkan kacamata hitamnya di kepala.
Aku hanya diam, menatapnya dari bawah hingga atas. Ia hanya mengenakan mini skirt dan atasan yang menyerupai bra. Ya ampun, ini memang musim panas, tetapi di sini bukan pantai!
"Halo, Nona, apakah kau mendengarku? Aku mencari Leonard!" sentaknya dengan pandangan tidak suka kepadaku.
"Dia tidak ada," jawabku santai sambil berusaha menutup pintu lagi. Aku justru lebih ingin membanting pintu di depan wajahnya yang penuh dengan polesan make-up tebal dengan bibir menyala merah bagaikan iblis itu.
Saat aku akan menutup pintu, justru aku merasakan ada sebuah tangan yang menahan pintu. Aku menoleh ke belakang dan mendapati Leon yang sedang menyisir rambut panjangannya dengan sebelah tangannya yang lain. Ia memang tetap tampan dan memiliki kharisma luar biasa walaupun baru bangun tidur.
"Hai, Leonard sayang..." Wanita itu mulai melancarkan rayuannya. Ia memandangku dengan penuh kemenangan.
"Masuklah, Cy."
Cuih!!!
Dasar wanita ular! Aku sungguh-sungguh ingin muntah sekarang. Tidak, sepertinya meludah di wajah perempuan itu pilihan yang lebih baik. Aku benci melihat pakaiannya yang seksi dan mengundang. Aku benci dengan dandanan menornya, apalagi bibir merah menyala itu. Seperti pelacur saja, ah aku lupa, ia memang jalang.
Cyzerine masuk ke dalam rumah dengan melewatiku begitu saja. Tidak lupa, seperti adegan-adegan wanita jahat yang ada di film-film, dengan sengaja ia menyenggol bahuku dengan sangat keras. Aku mendengus menahan amarahku.
"Leonard, siapa perempuan itu? Dia sepertinya memandangku dengan sinis? Aku tidak suka dengannya." Sayup-sayup aku bisa mendengar suara wanita iblis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alanis "a forbidden love"
RomansaDi bawah langit Rusia Kita meretas cinta Meleburkan batas ketidakbenaran Mengisi tiap gores kidung kehidupan Hingga takdir menentukan jalannya... Di bawah langit Rusia Aku, Alanis Caradoc... Dan inilah kisah cinta terlarangku... ...