---------------
Pada akhirnya, takdir mempertemukan kita di tempat yang lebih indah...
--------------
5 tahun kemudian...
Dalam dekap ruangan ini, kutemui perenunganku. Lamunan panjang yang menuntunku akan seseorang yang tak akan pernah lekang dalam ingatan, meskipun waktu terus berjalan dan menciptakan kenangan-kenangan yang baru. Ia yang akan selalu menjadi hal terindah yang pernah tercipta, yang akan selalu tersimpan dan memenuhi relung tanpa mampu terisi oleh nama yang lain.
Mataku terus memandang ruang ini, ruangan yang masih sama seperti kala aku pertama kali menginjakkan kakiku di sini. Aku tersenyum pedih, dulu aku menyebut ruangan ini adalah ruangan kegelapan. Tetapi sekarang ruangan ini dipenuhi akan kenangan-kenangan indah antara aku dengannya. Bayangan saat ia melukis punggungku dengan merah darahnya tervisualisasi dengan jelas. Kala tubuh kami berada dalam indah cumbuan malam dan kala ia memelukku dengan lengan kokohnya.
Bayangan jemarinya yang menari di atas kanvas memenuhi indra penglihatanku dan terlihat begitu nyata. Gerakannya lincah, dengan hanya mengenakan celana pendek dan kemeja putih yang seluruh kancingnya terbuka dan memperlihatkan dada bidangnya. Tubuhnya begitu sempurna walau hanya terlihat dari belakang. Kemudian ia berbalik dan menoleh ke arahku. Hazel-nya berhasil menangkap kedua iris biruku. Kedua ekor bibirnya terangkat, membentuk senyum yang begitu bahagia.
Bahagiakah dirimu sekarang di dunia yang berbeda, Sayang? Mengapa akhir-akhir ini kau sering menyaoa dalam rupa bayang semu yang menyakitkan?
Senyumnya tidak pudar. Ia melambaikan tangan kepadaku. Aku tersenyum dan melangkahkan kakiku mendekat. Mencoba merengkuhnya dan berharap ia bukan ilusi. Ketika tanganku terentang dan bersiap mendekapnya, bayangannya segera hilang. Senyum pedih kembali menghias wajahku. Ya, ia hanya akan menjadi sebuah ilusi saat ini.
Aku menggigit bibir dan memejamkan mata. Setetes kristal bening segera turun merangkak ke bukit pipiku. Aku duduk di tahtanya, sebuah bangku kecil yang selalu menjadi favoritnya kala sedang melukis. Dengan sebuah kanvas besar yang kini berada di depanku. Sebuah lukisan yang begitu menyeramkan, yang pada akhirnya menjadi kenyataan. Lukisan diriku yang pertama kali aku lihat dulu. Dengan berbalut gaun pengantin indah, tetapi tangisanku adalah tangisan darah.
Ya, dipernikahanku sendiri, telah banyak darah yang menguar.
Aku menekan dadaku sendiri yang tiba-tiba sesak. Degup jantungku berpacu cepat. Bahkan jantung ini tak mampu lagi berdegup normal sejak beberapa hari. Entah apa yang terjadi.
Bagaimana kabarmu, Sayang? Aku masih selalu merindukanmu dan akan terus merindukanmu. Rindukah kau padaku dan anak-anak kita? Mengapa tidak pernah menyapaku bahkan hanya dalam belaian mimpi indah? Mengapa begitu tega membuatku seperti orang gila yang hanya mampu menikmatimu dalam imajinasiku?
Dingin ruangan ini memelukku, tetapi aku justru menyukai rasa ini. Rasa yang selalu identik dengan sosok Leonard Caradoc. Lima tahun telah berlalu, dan kehampaan itu masih terus menggerogoti. Entah sampai kapan aku mampu bertahan dengan kekosongan yang mengerikan ini. Lima tahun, aku telah memenjarakan diriku sendiri ke dalam ruang imajinasi yang tak terbatas mengenai Leonard Caradoc.
Seperti penderita skizofernnia? Ya mugkin seperti itu. Karena ia selalu berada di mana pun aku berpijak. Tetapi aku tahu, ia tidak nyata. Ia tak terengkuh dan hanya sebuah bayangan samar yang bisa menghilang kapan saja.
Dan kini, ia kembali menampakkan bayangnya. Duduk di atas sofa putih yang dulu menjadi tempat kami memadu kasih dan berbagi napas. Senyumnya sama, yang justru membuat hatiku semakin diiris oleh rasa perih berkepanjangan. Seakan senyum itu mampu melemparkan pisau yang mengenai tepat ke ulu hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alanis "a forbidden love"
RomanceDi bawah langit Rusia Kita meretas cinta Meleburkan batas ketidakbenaran Mengisi tiap gores kidung kehidupan Hingga takdir menentukan jalannya... Di bawah langit Rusia Aku, Alanis Caradoc... Dan inilah kisah cinta terlarangku... ...