-- 18 -- At The First Sight

18.9K 1K 67
                                    

Kenny Alessandro

Aku menatap nanar kepergian mereka. Berat rasanya saat Alanis melepaskan genggamanku begitu saja. Demi Tuhan, aku sudah menunggunya selama lima tahun. Menunggu dalam diamku, menunggu saat-saat aku dan dia bisa menghabiskan waktu bersama. Aku memegang dadaku yang terasa sakit. Menikmati ngilu yang mulai menjalari diri.

Seminggu ini adalah seminggu paling bahagia dalam hidupku, meski aku selalu melihatnya seperti mayat hidup. Yang penting adalah dia yang selalu berada di dekatku dan aku bisa memandangnya dengan puas. Aku tahu ia sedang dalam masalah besar. Tetapi banyak sekali tanda tanya besar yang muncul dalam kepalaku. Sebenarnya apa yang terjadi di antara ia dan Leon? Perasaanku sudah tidak enak sejak hari di mana Leon mengusirku begitu saja dari rumahnya. Aku sangat takut, mengingat kondisi Leon yang masih tidak stabil.

Leon adalah penderita skizofernia, sebuah penyakit yang membuat penderitanya mengalami halusinasi atau delusi, menganggap sesuatu yang tidak ada menjadi sesuatu yang begitu nyata, terkadang melampaui batas nalar dan logika. Ya, itulah yang terjadi pada Leon.

Aku tahu dari temanku yang seorang psikiater, ia adalah psikiater yang merawat Leon. Aku tahu ia beberapa kali sering menemui psikiater saat satu tahun tinggal bersamaku. Aku tahu ia sempat menghentikan minum obat yang diberikan. Ia sudah terlalu terbuai ke dalam delusinya. Ia seperti memiliki dunia sendiri dan ia hidup hanya berdua oleh seseorang yang ada dalam imajinasinya.

Aku sungguh takut, saat tanpa sengaja aku mendengar ia berbicara sendiri dan seringkali ia menyebut dan memanggil nama Alanis. Apakah Alanis adalah seseorang yang berada dalam imajinasinya? Jika iya, itu sungguh mengerikan. Alanis adalah saudaranya sendiri, dan tidak seharusnya ia memiliki imajinasi berlebihan mengenai Alanis. Tetapi aku tidak bisa menyalahkannya, apa pun bisa terjadi terhadap pasien penderita skizofernia. Bahkan sesuatu yang tidak masuk akal sekalipun.

Ketakutanku akhirnya membuatku memutuskan sesuatu, aku diam-diam memasukkan obat-obatnya ke dalam minumannya. Ingin rasanya melihat ia sembuh dan melupakan Alanis dalam imajinasinya. Dan sejujurnya saja, aku tidak menginginkan perempuan yang aku cintai menjadi objek fantasi dari laki-laki lain.

Dan ternyata caraku berhasil, sejak kematian mommy, ia juga berubah, ia seolah melupakan Alanis dalam imajinasinya. Ia tidak lagi hidup dalam dunianya sendiri. Ya, akulah pembunuh seseorang yang ada dalam imajinasinya. Aku secara berkala menemui psikiaternya, mencoba untuk mengorek segala informasi, tetapi bahkan ia sangat tertutup.

Ia hanya mengunjungi psikiaternya untuk formalitas dan meminta obat tanpa mau meminumnya. Aku bisa membayangkan, jika aku tidak memasukkan obat-obat itu ke dalam minumannya secara diam-diam, sepertinya ia tidak akan pernah bisa sembuh dan sampai saat ini ia masih terkungkung dengan dunia alam bawah sadarnya.

Ia tahu, akulah penyebab semua imajinasinya menghilang. Karena sehari sebelum kematian mommy, ia tanpa sengaja memergokiku yang sedang memasukkan obat itu ke dalam minumannya. Ia tidak marah, sungguh reaksi yang sama sekali tidak aku duga. Tetapi kemudian, ia memilih untuk pergi menjauh. Dan sejak itu, aku tidak memahami lagi bagaimana kehidupannya setelah meninggalnya mommy.

Saat ini yang aku takutkan, ia menganggap Alanis sebagai 'Alanis' dalam imajinasinya. Aku takut realitas dan delusi hanya seperti di batasi oleh kain yang sangat tipis dan transparan dalam pandangannya sehingga ia tidak bisa membedakan mana hal yang nyata. Sungguh, aku tidak ingin perempuan yang aku cintai menderita lebih banyak lagi.

Kali ini, mungkin aku akan lebih banyak berjuang untuk mendapatkannya. Tidak selamanya posisiku hanya sebagai peran pembantu. Sudah cukup aku diam selama ini. Saat melihatnya terjun dari balkon, itu merupakan tamparan yang sangat keras bagiku. Melihat dirinya hancur perlahan membuatku juga ikut hancur.

Alanis "a forbidden love"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang