The Lost Part -- Vow --

9.9K 699 143
                                    

---------

Terkadang kita melupakan bagian-bagian dalam lembaran kisah hidup yang tertera dalam goresan pena kehidupan. Dan kini saatnya, membuka bagian-bagian yang terlewat itu seperti lembaran buku yang telah usang dan terlupakan.

---------

Senyum samar terkembang dari bibirku saat hujan turun begitu derasnya. Aku hanya bisa menatap langit basah itu dengan membayangkan bahwa saat ini langit ikut merasakan dukaku, atau justru ia menertawakan aku?

Aku ingin merasakan langsung deras hujan yang menyentuh pori-pori kulitku. Menghantarkan rasa dingin yang membuat segala bebanku terangkat walau sejenak. Sejak dulu, aku suka menggunakan air langit untuk menghapus air mataku sendiri.

Aku meletakkan sebuah dokumen yang sejak tadi berada di tanganku di atas nakas kayu. Setelah itu mendorong kursi rodaku pelan ke arah pelataran rumah yang dibeli daddy untuk Khareena di Bali karena melihat kondisi pulau ini yang begitu nyaman membuat Khareena ingin menetap lama di sini. Aku merentangkan tangan, menikmati air deras yang mengguyur tubuhku. Menghirup aroma hujan yang masuk ke dalam paru-paruku. Merasakan air mataku yang ikut meluncur dengan deras. Aku bahkan tidak yakin hujan ini mampu menghapusnya.

Aku mencoba tersenyum dan tertawa, tetapi entah sudah berapa lama aku kehilangan tawaku. Aku terus mencoba untuk mengeluarkan tawa, walau aku tahu itu sangat terdengar aneh. Aku tertawa, seperti orang gila. Aku tertawa untuk melupakan segala kesedihanku. Aku tertawa untuk membohongi hatiku sendiri.

Sial! Ternyata tertawa pun tetap menyisakan rasa perih yang tidak akan pernah pudar dari dalam hati.

"Leon!" Itu suara daddy. Daddy yang selalu berteriak nyaring ketika melihat aku untuk kesekian kalinya berada di bawah hujan. Hujan yang telah lama menjadi sahabatku sejak satu bulan aku menetap di sini.

Daddy membawa payung di tangannya dan segera berlari ke arahku. Ia memayungi aku walaupun tubuhku telah basah dan tak menyisakan celah kering sedikit pun. Dengan satu tangan daddy mendorong kursi rodaku untuk masuk kembali ke dalam rumah. Daddy membopong tubuh lemahku ini dan menidurkan aku di dalam bathub sebelum ia membasuhku dengan air hangat.

Hahaha... menyedihkan, bukan? Aku bahkan merasa seperti bayi yang tidak bisa melakukan apa-apa. Dan aku benci dengan diriku yang sekarang!

Daddy mulai melepaskan pakaianku satu persatu seperti biasa. Hingga aku tak mengenakan apa pun. Malu? Tidak ada waktu untuk merasa malu, karena memang inilah yang selalu terjadi sejak dokter memvonis aku lumpuh akibat saraf tulang belakang yang terluka saat insiden itu.

Daddy mengambil tanganku dan mulai mengelapnya dengan handuk hangat. Aku menatap mata daddy yang seperti berkaca-kaca. Dan benar saja, tidak lama aku melihat tetes air mata itu turun walaupun tidak banyak. Daddy telah berusaha menahan tangisnya jika berada di depanku.

Apakah... ia kasihan melihat kondisiku saat ini?

Aku menatap langit-langit kamar mandi. Merasakan air hangat yang menyelimutiku nyatanya tak mampu menutuwi hawa dingin yang justru semakin menusuk diriku. Hawa dingin yang semakin lama membuat aku takut berada di dalamnya. Padahal, dingin itu selama ini selalu melekat pada diriku.

"Dad...," tuturku dengan suara serak.

"Ya, son?" balas daddy sambil menatapku tidak percaya seolah takjub dengan satu kata yang baru aku utarakan.

"Daddy...," panggilku lagi kini lebih jelas.

Aku bisa melihat senyum haru yang menghiasi wajahnya yang sudah tidak muda lagi. Bahkan daddy tambah begitu kurus, berbeda dengan daddy yang dulu. Tanpa bisa menahan lagi, air mata jatuh di pipi daddy. Daddy menghentikan kegiatannya mengusap lenganku dengan handuk hangat dan menatapku dengan lembut.

Alanis "a forbidden love"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang