----------
Kematian, aku datang padamu...
----------
Ia menegang. Aku bisa melihat seringaian yang menghilang dari bibir tipisnya dan dengan cepat digantikan oleh ekspresi ketakutan. Oh, apakah aku berhasil dengan ancamanku? Karena jujur saja, membayangkan tubuhku tergoyak saat menghempas tanah itu sungguh mengerikan.
Aku masih tetap diam di tempatku, berdiri di atas pagar balkon ini. Aku berusaha menyeimbangkan diriku sendiri karena jika aku oleng sedikit saja, maka aku akan menjemput mautku sendiri. Leon juga masih terpaku di tempatnya. Kini ia memandang nyalang ke arahku.
Ia melemparkan pisau itu dan melepaskan gaun pengantin yang dibawanya. Aku menarik sudut bibirku dan membentuk senyuman sinis. "Kenapa tidak mendekat, Leon? Takut aku akan terjun dari balkon ini?" tantangku semakin berani.
Rahangnya mengeras. Aku bisa melihat otot wajahnya yang menegang. "Jangan bermain-main dengan ucapanmu sendiri, Alanis."
"Aku tidak main-main! Aku bisa terjun kapan saja!" teriakku semakin menjadi-jadi.
Aku bisa merasakan kakiku yang gemetar. Jantungku semakin berdetak tidak normal.
"Turun, Alanis. Aku mohon."
Aku tahu ia sengaja menyembunyikan emosinya. Ia hanya berusaha untuk mengontrol suaranya agar terdengar datar dan menyembunyikan ketakutannya. Aku melihat ia melangkah mendekat. Aku masih bergeming.
"Alanis, jangan sampai membuatku berlutut di depanmu. Aku hampir kehilangan Khareena dengan cara yang sama."
Aku menegang. Apa katanya? Khareena? Apakah kecelakaan yang dimaksud Leon adalah jatuh dari atas balkon? Aku menggeleng tidak percaya. Apa motif Khareena melakukan itu? "Jangan membohongiku, Leon. Aku tidak bodoh!"
I'm a fool! Aku meneriaki diriku sendiri. Bercinta dengannya saja merupakan salah satu kebodohanku yang paling aku sesali seumur hidup. Aku melihat ke dalam matanya dan untuk pertama kalinya, aku melihat matanya berkaca-kaca.
"Kumohon, Alanis." Ia kemudian luruh. Berlutut di depanku. Tetapi matanya tetap memandang ke dalam mataku. Jakunnya memperlihankan bahwa ia sedang kesulitan menelan salivanya sendiri. Aku tahu ia berusaha membangun benteng pertahanan untuk membendung air matanya.
Akhirnya aku kembali menyerah. Aku kalah dengan perasaanku sendiri. Aku mencoba untuk turun, tetapi karena keseimbangan tubuhku yang tidak baik, aku justru terpeleset dan terjerembab ke belakang.
"ALANIS!!!" samar-samar aku mendengar teriakannya.
Bruaaaakkkk!!!
"ALANIS!!!" Suaranya masih terdengar.
Tubuhku rasanya remuk. Apakah aku sudah berada dalam batas hidup dan mati? Tetapi aku merasakan kehangatan yang mendekapku. Tunggu! Apakah tadi benar-benar aku mendengar suara Leon yang berteriak?
"Alanis," bisik seseorang begitu dekat di telingaku. Aku mencoba untuk membuka mata menoleh ke belakang walaupun tubuhku rasanya sakit sekali.
"K-kak Kenny!"
"Jangan pernah melakukan tindakan bodoh lagi, Alanis. Jika sejak tadi aku tidak mengawasimu dari bawah, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padamu."
Ia benar-benar tercipta sebagai malaikatku. Aku terkadang heran dengan hidupku ini, memiliki seorang iblis yang siap menghancurkan aku kapan saja, tetapi disisi lain juga ada seorang malaikat yang selalu ada bahkan untuk melindungi nyawaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alanis "a forbidden love"
RomansaDi bawah langit Rusia Kita meretas cinta Meleburkan batas ketidakbenaran Mengisi tiap gores kidung kehidupan Hingga takdir menentukan jalannya... Di bawah langit Rusia Aku, Alanis Caradoc... Dan inilah kisah cinta terlarangku... ...