"Tidak ada yang namanya kebenaran dalam hidup. Kebahagiaan hanya ilusi yang membuat manusia terbuai olehnya. Harapan seperti kata yang terucap dari seorang pembual. Nyatanya, kehendak yang menentukan hidup manusia. Jadi, akankah kamu sebut semua ini sebagai ironi?"
*****
Jam dinding dalam ruang kerja Amaya sudah menunjukkan pukul enam sore, yang berarti waktu kantor Amaya telah berakhir tiga puluh menit yang lalu. Harusnya, tiap pegawai sudah pulang. Namun, tidak dengan Amaya. Ia tampak masih betah untuk duduk di kursi dan tetap fokus pada layar komputer.
"Ayo, pulang, May!" rengek Helen keras. Sahabatnya itu sudah lama menunggu. Kesal karena Amaya tak kunjung selesai dengan laporannya.
"Sebentar, Len. Aku sedikit lagi kelar, kok," jawab Amaya tanpa melihat Helen. Tak sadar bahwa wanita mungil di sampingnya telah cemberut dengan bibir mengerucut.
"Bawa pulang saja kerjaan kamu ke rumah."
"Enggak bisa. Kamu tahu waktu aku di rumah hanya untuk anak-anak, 'kan."
Anak-anak yang dimaksud Amaya adalah anaknya. Hana dan Dava. Mereka berdua merupakan anak yang diangkat Amaya saat umurnya masih dua puluh tiga tahun. Awalnya, Amaya ingin menyerahkan kedua anak tersebut ke panti asuhan. Namun, setelah mengetahui penderitaan dari ibu kedua anak itu, ia kemudian memutuskan untuk merawat Hana dan Dava. Meski sulit, tapi semua bisa berjalan baik hingga sekarang.
Hana dan Dava sendiri kini telah berusia lima tahun, dan belum tahu mengenai orang tua kandungnya. Sejak awal, Amaya tidak pernah menceritakan kebenaran dan hanya berkata bahwa ayah mereka telah lama pergi semenjak Amaya masih mengandung. Amaya hanya tidak ingin melukai kedua anak tersebut dengan masa lalu yang kelam. Kebahagiaan Hana dan Dava adalah satu-satunya yang menjadi prioritas utama Amaya. Membuat ia lebih baik berbohong demi menciptakan keluarga bahagianya sendiri.
****
-Flashback-
[Selamat, May. Akhirnya, kamu lolos juga. Berarti, kita jadi kerja bareng, ya! Enggak sia-sia aku paksa kamu untuk ikut taruh lamaran] kata Helen dengan bangga.
[Enggak sangka juga aku bakal diterima sama De Corp. Kamu tahu sendiri, pelamar yang datang saat bersama kita itu banyak sekali, 'kan.]
[Pasti banyak! Secara, gaji untuk fresh graduate kayak kita saja nominal awalnya sudah mencapai dua digit.]
[Dua digit, sih. Tetapi, kerjaan kita juga dua kali lipat, Len. Eh, sudah dulu, ya. Aku hanya sekadar ingin memberi tahu kamu saja. Sekarang, aku harus cepat balik ke rumah. Cuaca sudah mendung.]
[Baiklah. Hati-hati di jalan, May!]
[Sip!]
Dengan satu gerakan cepat, Amaya segera memutuskan sambungan. Kemudian, melihat lurus ke depan. Memperhatikan awan gelap yang sedang menghiasi langit. Tidak ingin lebih lama mengulur waktu, dengan sigap dirinya mempercepat langkah kaki menuju parkiran. Amaya tidak ingin merasakan macet di tengah hujan. Membayangkan saja sudah membuatnya pegal.
Buk!
"Aduhh!" pekik Amaya. Ia sudah terjatuh karena ditabrak seseorang. Namun, pelaku yang menabraknya itu hanya berlalu. Terus berjalan tanpa berbalik dan meminta maaf.
Menahan amarah, Amaya memutuskan untuk bangun. Kembali melangkah, masuk ke dalam mobil, dan segera melajukannya. Benar saja, baru sepuluh menit ia keluar dari parkiran, hujan sudah mengguyur deras, menyapu bersih seluruh jalanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Behind The Wedding
Romance[Romance - 19+] Follow dulu, baru dibaca. -PRIA yang LICIK bagai RUBAH- Dari semua cerita dongeng aku paling benci dengan kisah putri tidur, karena ia mendapat bahagia hanya dengan tertidur. Ingin sekali aku membangunkan dan menyadarkannya bahwa ti...