"Klise. Terdengar seperti itu. Namun sungguh, aku ingin kembali bersamamu."
*****
Canggung. Kata itu adalah kata paling tepat untuk mengawali pagi Amaya bersama Rava saat itu. Setelah bangun dari mabuknya, Amaya benar-benar merasa takut untuk bicara dengan Rava. Ia bahkan tidak ingat saat sampai di rumah. Jadilah, sarapan pagi di antara mereka hanya diisi oleh suara anak-anak.
Rava dengan ponselnya sembari sesekali menghiraukan ucapan Hana, sementara Amaya terus fokus pada makanannya. Berusaha menelan selambat mungkin agar tidak membuat mual perutnya.
"Aku berangkat lebih dulu, ya," kata Rava tiba-tiba membuat Amaya lantas mendongak. Namun, tidak berkata apa-apa, wanita itu hanya mengangguk cepat dan kembali melanjutkan lagi makannya.
Baru setelah selang lima belas menit, Amaya bersama Hana dan Dava menyelesaikan sarapan. Ketiganya pun langsung berangkat, mengejar waktu agar tidak sampai terlambat.
.
.
"Kemarin malam aku kenapa bisa sampai di rumah?" todong Amaya cepat pada Helen.
Kedua wanita itu sekarang sedang berada di pantry, menikmati sebentar sisa waktu yang ada sebelum masuk kerja.
"Rava yang membawamu pulang. Apa dia tidak cerita?"
"Aku yang tidak berani bertanya. Lagi pula, bagaimana bisa Rava ada di sana?"
Helen pun menjelaskan semua kejadian pada Amaya. Mulai dari saat dia pingsan seorang diri, sampai pada saat datangnya Rava, Hilmi, dan Theo yang ternyata sejak awal telah membuntuti mereka.
"Jadi, begitu. Saat Hilmi dan Theo menghampiri kami, Rava sudah pulang bersamamu. Memang kamu tidak ingat sudah mabuk kemarin?"
"Aku bahkan tidak banyak minum. Terakhir aku meminum minuman yang kalian pesankan dan lalu pandanganku mulai kabur."
Helen yang semula mengaduk teh langsung menghentikan gerakan tangan dan melihat balik Amaya dengan tatap terkejut.
"Kami tidak memesankanmu minuman. Ah, jangan-jangan ada orang yang berniat jahat padamu. Beruntung ada Rava, May!"
Memahami maksud ucapan Helen lantas membuat napas Amaya tercekat. Kedua matanya membulat lebar sementara bibirnya mengatup rapat.
Tidak ... hampir saja aku terlibat masalah konyol karena kecerobohanku.
"Sudahlah, May. Tenang. Semua sudah baik-baik saja," sambung Helen dengan kedua tangannya sudah memeluk erat Amaya.
"Aku benar-benar bodoh, Len."
"Semua orang pasti berbuat salah, satu atau dua. Derish juga sama sepertimu. Anak itu kemarin terlalu banyak minum sampai mabuk di depan Theo."
"Derish mabuk di depan Theo," cicit Amaya sembari melonggarkan pelukan.
"Iya, di depan Theo. Dia juga yang mengantar pulang Derish, kok."
"Tunggu. Sejak kapan Theo mengenal Hilmi dan Rava?"
"Sejak lama. Aku juga baru tahu bahwa mereka bertiga itu berteman dekat. Menyesal aku banyak bercerita pada Theo yang pasti akan langsung dibocorkan ke Hilmi."
"Jangan-jangan Theo juga yang memberi alamatku dulu pada Rava," tebak Amaya cepat.
"Bisa jadi."
"Ah, pria itu. Benar-benar tidak bisa dipercaya ternyata. Semoga saja Derish baik-baik saja saat diantar olehnya."
.
.
Amaya sudah sibuk di depan komputer begitu waktu kerjanya dimulai. Ia tidak lagi sempat memikirkan masalahnya dengan Rava. Sudah teramat fokus dengan pekerjaan, sampai sebuah notifikasi ponsel memecahkan semuanya.
Dilirik ponsel tersebut yang menampilkan sebuah pesan di layar dari nomor yang tidak diketahuinya. Namun, setelah membaca isi pesan, Amaya langsung sadar akan pengirim pesan tersebut yang tidak lain adalah Ragil.
"Sepertinya ini bisa jadi kesempatan bagiku untuk benar-benar mengakhiri hubungan dengannya," gumam Amaya pada diri sendiri.
Dibalasnya pesan itu segera dan diletakkan kembali ponselnya tersebut ke atas meja. Sembari dirinya balik mengetik di atas keyboard, Amaya juga berperang dengan batinnya.
Ia akhirnya memutuskan untuk tidak lari lagi. Menghindar hanya akan membuat masalah dengan Ragil semakin panjang. Lebih baik, Amaya cepat menyelesaikan dan memperjelas status hubungan mereka.
"Aku benar-benar harus menghentikan semua ini. Harus."
.
.
Tidak jauh berbeda dengan Amaya yang masih dibayangi oleh Ragil, di sisi lain Rava juga tiba-tiba harus kembali terlibat dengan mantan kekasih yang bahkan sudah lama ia lupakan.
"Siapa yang memperbolehkan wanita ini masuk?" tanya Rava tajam pada Hilmi.
Namun, bukan menjawab, pria itu malah angkat bahu. Lantas keluar meninggalkan Kintan dalam ruang Rava hanya berdua.
"Jangan marah dengan Hilmi. Aku yang memaksanya untuk menerima kedatanganku di sini."
"Untuk apa kamu datang lagi ke sini? Aku tidak merasa ada hubungan lagi denganmu."
"Aku ingin memulai semuanya lagi denganmu. Hubungan kita ... aku ingin memulainya lagi."
Mendengar penjelasan Kintan makin membuat Rava kesal. Belum selesai dirinya memperjelas hubungan dengan Amaya, tetapi sudah ada lagi masalah lain yang terdengar amat konyol bagi pria itu.
"Hubungan kita sudah lama selesai saat aku tidak ingin menikahimu. Kamu juga sudah bahagia 'kan dengan kerjaanmu di Amerika. Jadi, tetaplah di sana. Aku benar-benar berharap kamu tidak perlu lagi muncul di hadapanku."
Rava sudah berbalik. Berjalan kembali menuju meja kerjanya.
"Aku pergi karena kamu tidak ingin menikah denganku. Lalu, kenapa sekarang kamu menikah, Rav?!" tanyanya dengan setengah berteriak.
"Aku tidak ingin menikah denganmu, tetapi aku bisa menikah dengan wanita lain yang memang aku inginkan. Aku tidak melihat ada masalah di sini."
"Tentu ada! Masalahnya kamu itu hanya pantas dengan diriku!"
Sepertinya, wanita ini sudah tidak lagi bisa berpikir jernih. Lebih baik kusingkirkan sekarang sebelum terlambat.
Tidak lagi membuang waktu, melalui interkom, Rava langsung meminta sekretarisnya untuk memanggil beberapa petugas keamanan ke ruangannya.
Hal itu tidak luput dari pengamatan Kintan. Dengan cepat, wanita itu lantas mendekat. Berusaha memeluk Rava yang langsung ditepis oleh pria itu sampai membuat Kintan terjatuh ke lantai.
"Kamu gila, ya!" bentak Rava seketika.
"Iya, aku memang gila! Aku gila karena kamu berhasil direbut oleh wanita sialan itu!"
Mendengar Amaya dihina membuat kesadaran Rava untuk sesaat menghilang. Ia sudah hendak menampar Kintan, meski urung saat pintunya dengan tiba-tiba sudah terbuka.
"Bawa wanita ini pergi sekarang juga," pintanya tegas yang langsung dijalankan oleh kedua orang petugas keamanan tersebut.
Namun, tidak membiarkan dirinya dipermalukan, dalam diam Kintan berdiri seorang diri dan keluar dari ruangan tanpa perlu dikawal.
Sebelum benar-benar pergi, wanita itu berucap sembari memunggungi Rava.
"Kamu akan menyesal, Rav. Istrimu hanya wanita lemah yang bisa dengan mudah pergi meninggalkanmu."
.
.
Ditulis oleh: Penulisdsy
Vote, follow, dan komentar jangan lupa
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Behind The Wedding
Romance[Romance - 19+] Follow dulu, baru dibaca. -PRIA yang LICIK bagai RUBAH- Dari semua cerita dongeng aku paling benci dengan kisah putri tidur, karena ia mendapat bahagia hanya dengan tertidur. Ingin sekali aku membangunkan dan menyadarkannya bahwa ti...