"Kemerdekaan itu tidak diraih hanya dengan satu malam. Sama seperti sebuah hubungan, perlu perjuangan lebih dari masing-masing pihak agar bisa saling menyatu satu sama lain"
*****
Pagi yang seperti biasa. Anak-anak yang ramai sebelum akhirnya berangkat dan sekarang Amaya kembali terdampar di rumah untuk menghabiskan sisa satu hari cutinya. Sialnya, setelah itu Sabtu dan Minggu yang berarti Amaya masih harus betah berbosan-bosan selama tiga hari ke depan.
Setelah selesai mencuci piring bekas sarapan, Amaya segera menuju kamar. Tidak ada lagi bermalasan. Amaya lebih memilih untuk mencicil pekerjaan kantor yang tertumpuk. Alhasil, fokusnya kini hanya tertatap pada layar Mcbook dengan sangat serius. Tidak lupa, berbagai lembar kantor kini mulai ikut berserakan menghiasi tempat tidurnya. Perlahan terus menumpuk bersama jam demi jam yang berlalu.
Di tengah sibuknya tersebut, tanpa wanita itu sadari telah ada seseorang yang masuk ke dalam kamar. Lantas memperhatikan dirinya sembari tubuh tinggi orang itu bersandar pada badan pintu.
Namun, percuma saja. Diperhatikan selama apa pun, tidak akan membuat Amaya sadar. Ia sudah terlalu larut bersama dengan setiap laporan keuangan yang sedang dikerjakannya.
Baru setelah orang itu menjatuhkan badan ke sampingnya, Amaya terperanjat kaget dan lantas memperhatikan balik.
"Rava?! Sejak kapan kamu di sini?" tanyanya bingung.
"Dari tadi. Sejak aku diabaikan saat masuk kamar," balas pria itu tanpa menoleh. Masih memunggungi istrinya tersebut.
Merajukkah dia? pikir Amaya dalam hati.
Tidak mau semakin merusak mood Rava, maka masih dengan sisa bingung yang ada, Amaya langsung bangun dari duduknya dan segera pergi menuju dapur.
Mungkin segelas ice tea mampu menyegarkan pikiran Rava, terkanya sambil terus melangkah turun melewati anak-anak tangga.
Dan saat siluet Amaya tidak lagi terlihat, maka Rava lantas membenarkan posisi badan. Memilih untuk tidur merebah sembari menatap langit-langit kamar.
"Apakah aku terlalu kekanakan tadi?"
Dalam diam, Rava menyesali sikap konyolnya itu. Merajuk sama sekali bukan kebiasaannya. Namun, ia juga tidak bisa menutupi kecewa saat pulang tanpa mendapat jemputan ataupun sambutan.
Tidak. Rava sebenarnya masih belum terlalu kecewa saat tidak ada yang menunggu kepulangannya itu. Terlebih, karena Rava sendiri yang tidak memberi tahu mengenai jadwal terbangnya. Ia baru merasa sebal saat Amaya bahkan tidak menyadari dirinya yang sudah masuk ke dalam kamar.
"Memangnya perjalanan bisnis beberapa saat bisa membuat hawa keberadaanku ikut melenyap? Padahal, katanya ia akan selalu menungguku pulang," gerutunya masih dengan kening yang mengkerut.
"Aku memang menunggu. Kamu saja yang tidak mengabari. Memang aku cenayang yang bisa menerka semua gerak-gerikmu."
Rava langsung bangun dan terduduk saat mendengar jawaban atas pertanyaannya.
"Kamu bawa apa?" lanjut Rava bertanya.
"Ice tea. Kuharap minum segar bisa mendamaikan mood-mu," balas Amaya sembari menyodorkan segelas minuman itu pada Rava.
Mau tidak mau, Rava menerima gelas tersebut dari Amaya dan langsung meminumnya tanpa jeda. Kalau boleh jujur, ia memang haus. Meski, tetap saja alasan utamanya marah adalah karena diabaikan.
"Sehaus itukah kamu?" tanya Amaya dengan tawa tertahan.
"Aku langsung pulang ke sini dari bandara. Tentu saja aku lelah dan haus," jawab Rava.
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Behind The Wedding
Любовные романы[Romance - 19+] Follow dulu, baru dibaca. -PRIA yang LICIK bagai RUBAH- Dari semua cerita dongeng aku paling benci dengan kisah putri tidur, karena ia mendapat bahagia hanya dengan tertidur. Ingin sekali aku membangunkan dan menyadarkannya bahwa ti...