Bab 22

57.5K 3.2K 36
                                        

"Your scent is like a drug to me, like my own personal brand of heroine"

*****

Setelah mendapatkan kembali kameranya, Amaya tiba-tiba saja mengajak Rava untuk duduk bersampingan menghadap birunya laut. Ombaknya sesekali menyentuh kaki mereka, mengiringi waktu yang semakin berlalu. Perlahan, jingga matahari ikut menyelimuti lautan, semakin menciptakan diam di antara Rava dan Amaya yang sudah tenggelam dalam indahnya pemandangan.

"Aku merasa aneh sekarang," ucap Amaya memulai obrolan.

"Kenapa aneh?"

"Berdiam seperti ini bersamamu ternyata sama sekali tidak membuatku terganggu seperti biasanya. Aku justru merasa tenang."

"Mungkin karena suasanya. Kamu tahu 'kan manusia itu mudah hanyut dalam emosi. Seperti saat ini, kita hanyut dalam senjanya mentari sampai lupa akan hal lainnya."

"Kamu benar, Rav. Sepertinya akan lebih baik jika waktu berhenti saja di saat-saat seperti ini."

"Meminta waktu untuk berhenti sama saja menjadi seorang pengecut yang tidak berani untuk melangkah maju, May," balas Rava serius. Pandang mata pria itu masih lurus melihat lautan, tetapi tangan kanannya sudah ia gerakkan. Lantas menggenggam lembut tangan kiri istrinya, membuat wanita itu terkejut dan langsung menoleh.

"Jangan takut menghadapi kenyataan. Kamu sudah membuat pilihan untuk bersama anak-anak 'kan, maka jalanilah dengan berani. Sementara aku akan terus melakukan yang terbaik untuk menjagamu seperti janjiku di awal," lanjutnya tenang.

Seperti sebuah oase, bagi Amaya, kata-kata yang diucapkan Rava saat itu mampu menipiskan keraguan yang selalu menyelimuti perasaannya. Sedangkan genggaman pria itu bagai sebuah pembenaran yang selalu dicarinya selama ini.

"Kamu tahu, Rav, kadang aku sering memikirkan masa depan jika dulu tidak salah mengenalimu. Berpikir tentang hidup yang jauh lebih tenang tanpa ada dirimu," lirihnya sambil menjulurkan satu tangannya yang bebas. Tanpa takut, tangan itu sudah menyentuh wajah Rava. Langsung menolehkannya agar pandang mereka dapat bertemu.

"Namun, aku sadar bahwa Tuhan selalu punya rencana yang tidak mungkin dihindari. Aku dan kamu ... pasti ada alasan baik bagi kita untuk terjebak dalam situasi seperti sekarang. Jadi, maukah kamu terus bersabar dengan diriku yang seperti ini? Kamu tidak menyesal, bukan?" lanjut Amaya meminta kepastian.

"Aku tidak akan mengajakmu ke sini, jika aku tidak mau bersabar denganmu. Lagi pula, hanya kamu satu-satunya Ibu dari anak-anak. Jadi, walaupun aku menyesal, biarlah aku menyesal bersamamu sampai tua. Mungkin kamu yang akan lelah karena akan terus berdebat denganku nantinya," jawab Rava dengan senyum di wajah. Teramat memikat bersama pantulan jingga mentari. Membuat Amaya tidak tenang, lantas dengan refleks, tangannya yang semula menyentuh lembut wajah pria itu tiba-tiba saja sudah mencubit dengan keras.

"Aw, sakit! Kenapa kamu mencubitku?!" rintih Rava ikut mengangetkan Amaya yang lansung menarik tangannya itu dari pipi suaminya.

"Ah, maaf. Aku khilaf."

"Aku tarik kembali ucapanku. Sepertinya aku akan benar-benar menyesal karena menikahi wanita penyiksa suami sepertimu."

Kelakar jahil Rava langsung disambut sebuah cubitan di lengan oleh Amaya. Obrolan manis yang semula menguasai keduanya, kini menjadi perang kecil yang menimbulkan tawa keras dari masing-masing pihak.

Tidak ada kalah-menang dalam pertengkaran mereka saat itu. Dibanding merasa kesal satu sama lain, Rava dan Amaya justru merasa lepas. Sengaja ingin mempertahankan momen yang ada lebih lama sembari genggaman mereka terus menguat tanpa ada yang mau melepas.

.

.

Matahari sudah benar-benar tenggelam, sementara gelap mulai mengisi bersama kilap bintang di langit. Namun, bukannya pergi, para pengunjung di pantai masih betah berlama-lama di sana. Tidak terkecuali Amaya dan Rava. Keduanya sedang berjalan beriringan di antara dinginnya pasir dengan tangan tetap menggenggam.

Dengan satu tangannya yang kosong, Amaya berusaha menunjukkan segala jepretannya pada Rava. Sesekali Rava melirik dan memberikan komentar sembari dirinya tetap fokus melangkah.

"Sudah sampai. Ayo, kembalikan sepeda lalu kita pulang ke hotel."

"Yah, aku masih ingin jalan-jalan malam ini," keluh Amaya sembari mengerucutkan bibir merah mudanya.

"Bagaimana kalau kita ke pesta pantai dekat hotel? Tadi aku dengar dari salah satu staf, akan ada pesta di dekat sana. Kita bisa ganti pakaian lebih dulu di hotel."

"Ah, pasti banyak alkohol di sana. Aku tidak kuat minum."

"Yah, kamu tidak usah minum. Kita cukup makan dan menikmati pesta secukupnya saja."

"Oh, benar juga. Lagi pula, lumayan untuk cuci mata. Nanti, pasti banyak turis-turis asing tampan di pesta."

Tawa lebar di wajah istrinya yang tiba-tiba terbentuk, membuat Rava langsung berdecak kesal.

"Seperti tidak pernah melihat orang asing saja. Lagi pula, aku lebih tampan dari mereka."

"Aku hanya ingin mensterilkan pandangan dari wajah dinginmu. Lagi pula, kamu juga pasti akan melirik wanita-wanita lain di sana," tuduh Amaya dengan tatap mencemooh.

"Dibanding memperhatikan wanita lain, aku lebih memilih untuk lebih perhatian padamu."

"Kenapa?" tanya Amaya penasaran. Tanpa bisa dicegah, jantung wanita itu sudah bergemuruh lebih keras.

"Aku takut kamu diculik. Habis tingkahmu norak seperti anak SMA sedang study tour."

Dan kelakar suaminya itu sukses membuat cubitan kembali dilayangkan bertubi-tubi oleh Amaya. Menjadi satu lagi pertempuran kecil yang dinikmati keduanya.

.

.

Ditulis oleh: Penulisdsy

Vote, follow, dan komentar jangan lupa

[End] Behind The WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang