"Seperti awan yang menyembunyikan hujan, aku juga hanya perlu memberi senyuman tanpa perasaan"
*****
"Kamu pulang?" tanya Amaya pada Rava saat pria itu masuk ke dalam kamar.
"Kamu ... menungguku? Sudah kubilang padamu, hari ini aku akan pulang terlambat," ada jeda dalam kata-katanya.
Namun bukan menjawab balik, Amaya hanya diam, bangun dari tempat tidur, dan lantas membantu Rava untuk melepas jas pria itu.
"Aku tahu. Aku hanya tidak bisa tidur saat ada anggota keluarga yang belum pulang ke rumah."
Gerakan tangan Rava yang sedang melepas dasi langsung terhenti karena ucapan istrinya itu.
Keluarga. Kata yang benar-benar asing di telingaku.
"Berusaha menjadi model istri yang baik, ya?" balasnya sarkatis dengan wajah menunduk.
"Hmm ... aku hanya ingin menjadikan keluarga palsu ini menjadi nyata."
Tak ada keraguan dalam jawaban Amaya. Iris hitamnya yang tiba-tiba balas menatap Rava, membuat pria itu kehilangan kata.
"Kenapa bengong? Kamu tidak mandi?"
"Oh, ok. Aku mandi sekarang," jawab Rava agak tergagap pada akhirnya.
.
.
Mandi air hangat memang aktivitas paling tepat untuk menghilangkan lelah. Membuat Rava kembali segar dan tenang, meski hanya sebentar, karena ketenangan itu kembali terusik saat melihat Amaya masih terjaga sembari bersandar dengan tatap melamun.
"Kamu masih belum tidur?"
"Tidak bisa tidur."
Merasa bingung untuk melanjutkan percakapan, maka Rava memilih untuk merebahkan diri di samping Amaya. Berusaha untuk tidur.
"Rav," panggilnya membuat Rava terbangun.
"Kenapa?"
"Aku bertemu dengannya lagi. Pria yang kutunggu, ia sudah pulang."
Pernyataan itu lantas membuat perasaan Rava tersentak. Pria itu tidak lagi memunggungi istrinya dan dalam sekali gerak, ia sudah terduduk. Balik melihat Amaya dengan iris abu-abu miliknya.
Aku sudah berusaha menghalangi mereka bertemu, jadi bagaimana bisa? Tunggu, lalu, kenapa wanita ini menceritakan semuanya padaku?
"Kenapa ... kenapa kamu menceritakan hal ini? Akan lebih baik jika kamu diam dan bertemu dengannya di belakangku."
"Tidak bisa. Aku tidak akan bisa mengkhianatimu."
"Aku hanya suami palsu bagimu. Kamu tidak pernah mencintaiku." Lagi-lagi Amaya membuat Rava bingung dengan sikapnya.
"Aku tahu, tetapi kamu sudah berjanji tidak akan meninggalkanku dan itu membuatku senang."
"Janji konyol itu ... apa kamu percaya aku akan menepatinya? Jangan pernah percaya pada orang lain. Kamu hanya membuat dirimu sendiri terluka."
"Jika bukan denganmu, lantas siapa yang harus aku percaya? Lagi pula, sekarang aku hanya punya dirimu, 'kan."
Sikap jujur Amaya benar-benar membuat Rava takut. Bibir pria itu hanya terkatup tanpa kata. Sementara, matanya melihat ragu Amaya.
Wanita ini berbeda. Ia berbeda dari Ibu. Tidak, sejak awal Amaya memang tidak sama dengan Ibu.
"Jangan diam saja, Rav," lanjutnya sembari merentangkan kedua tangan. Tiba-tiba memeluk dengan wajah mungilnya sudah disandarkan pada bidang dada Rava.
"Kamu mabuk, May?" tanya Rava semakin tidak mengerti.
"Tidak, aku hanya ingin mendapat sedikit ketenangan darimu."
Mendapat sekali lagi kejujuran, membuat Rava benar-benar menyerah. Dengan perlahan, pria itu sudah balik memeluk istrinya. Mencoba untuk memberi kehangatan yang dibutuhkan wanita itu.
"Kamu bukannya tidak ingin ada kontak fisik?"
"Maaf. Aku akan membayar dendanya lain waktu padamu."
"Tidak perlu. Aku sudah terlalu kaya untuk menerima denda darimu."
Amaya tergelak. Kali ini, wanita itu benar-benar tertawa karena Rava untuk pertama kali.
"Jadi bagaimana? Apa yang ingin kamu lakukan padanya?"
"Entahlah ... logikaku ingin berada di sisi anak-anak, tetapi hatiku selalu memikirkannya."
"Seberharga itukah anak-anak untukmu?"
"Mereka segala hal yang menutupi lemahku," lirih Amaya pelan. Wanita itu sudah merenggangkan pelukan. Kini menatap Rava dengan wajah mendongak.
"Jadi, tolong bantu aku untuk membuatnya pergi," pinta Amaya.
"Baiklah, jika memang itu keinginanmu."
.
.
Prang!
Satu lagi gelas berisi alkohol pecah, begitu terbentur dengan kerasnya dinding. Namun, Ragil tidak peduli. Pria itu hanya ingin meluapkan rasa frustasi karena penolakan Amaya.
"Sial! Sial! Sial!" umpatnya berulang saat kenangan akan sore itu kembali terbesit.
.
.
-Flashback-
"Aku merindukanmu, May," ucapnya sembari memeluk Amaya. Harum manis wanita itu langsung tercium, benar-benar membuat mabuk Ragil.
Ia pikir, wanita yang dirindunya tersebut akan balik memeluk. Namun, Ragil salah. Amaya hanya diam, bahkan kedua tangan kurusnya sudah mencoba untuk melepas pelukan.
"Kamu kenapa?" tanya Ragil khawatir.
Pria itu akhirnya melepas pelukan. Langsung menundukkan wajah dan bertemu dengan tatap sedih Amaya.
"Apa kamu tidak senang akan kembalinya diriku?"
"Tidak."
Satu kata dari Amaya benar-benar membuat Ragil kehilangan segala kalimat yang ingin disampaikan.
"Kamu bercanda?"
"Aku sudah menikah, Gil. Kamu terlambat."
"Siapa?! Tidak mungkin kamu mengkhianatiku!" Kedua tangan pria itu sekarang sudah mencengkram bahu Amaya dengan kuat.
"Aku menunggumu! Aku selalu menunggu, tetapi kamu tidak pernah kembali. Aku bahkan tidak menerima kabar apa pun darimu. Jadi, aku harus menerima semuanya, Gil. Aku harus menjalani takdir yang membuatku harus segera menikah dengan pria itu."
"Apa maksudmu, May?! Aku sudah bilang padamu bahwa aku akan menerima anak-anak itu. Aku hanya butuh waktu!"
"Percuma, Gil. Ia adalah Ayah asli dari anak-anakku dan aku harus menikahinya untuk menjaga mereka."
"Kamu memilih mereka dibanding aku?" tanyanya sarkatis.
"Mereka hanya punya aku, tetapi kamu punya segala hal selain diriku."
Amaya lantas pergi setelah menyelesaikan kalimatnya. Melepas cengkraman Ragil dari bahunya. Melangkah tanpa menoleh kembali pada pria itu.
-Flashback End-
.
.
Ditulis oleh: Penulisdsy
Vote, follow, dan komentar jangan lupa

KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Behind The Wedding
Romance[Romance - 19+] Follow dulu, baru dibaca. -PRIA yang LICIK bagai RUBAH- Dari semua cerita dongeng aku paling benci dengan kisah putri tidur, karena ia mendapat bahagia hanya dengan tertidur. Ingin sekali aku membangunkan dan menyadarkannya bahwa ti...