Bab 8

75.5K 4.8K 141
                                    

"Hidup itu bagai suatu simpul yang rumit. Perlahan mengikuti waktu, ikatannya akan terurai dan menunjukkan kebenaran yang nyata. Baik itu menyenangkan atau malah menyakitkan."

.

.

Jangankan untuk makan siang, untuk menatap langit saja rasanya Rava sudah tidak berminat. Satu-satunya yang ingin ia lakukan adalah menghabisi wanita itu. Wanita sial yang mengaku hamil karenanya. Padahal, berbicara dengannya saja Rava belum pernah, tetapi tanpa tahu malu wanita itu langsung menuduh dirinya dengan amat sembarang.

Mengingat lagi kejadian beberapa saat lalu, menyulut api kemarahan yang belum padam. Rava bahkan sudah membanting pintu kantor. Lantas menghubungi resepsionis yang berani membiarkan wanita gila tersebut masuk melalui interkom begitu dirinya berada dalam ruang kerja.

[Maaf, Pak. Saya juga tidak kenal dengan wanita tadi. Saya hanya tahu namanya. Nama wanita itu adalah Amaya dan dia ... dia mengaku sebagai tunangan Anda.]

[Tunangan?! Dasar, wanita gila! Siapa dia?! Berani-beraninya mengaku sebagai tunanganku! Saya tidak mau lagi ada kejadian seperti ini. Kalau kamu masih mau bekerja, MAKA JANGAN PERNAH BIARKAN WANITA SINTING ITU MASUK LAGI!]

Brakk...!

Gagang interkom tanpa dosa itu langsung dibantingnya karena tak mampu lagi menahan emosi. Di tengah kekesalan yang tak kunjung surut, tiba-tiba saja Hilmi masuk membawa kabar tak kalah menyebalkan.

"Namamu, Rav," ucapnya langsung. "Semua artikel di internet bahas tentangmu dan wanita tadi. Aku enggak tahu siapa yang membocorkan berita, tetapi yang jelas kita harus siap-siap sama media," terangnya membuat Rava makin pusing.

"SIALAN! Bukan cuma masalah image kantor yang jadi jelek, tapi kakek juga pasti akan langsung gila jika sampai dengar berita ini."

"Terus kita harus apa?"

"Kamu urus semua pemberitaan. Jangan biarkan sampai melebar jauh," lanjutnya sembari bersiap pergi. Pria itu sudah melangkah lagi. Berjalan pasti ke arah pintu kerjanya.

"Mau ke mana, Rav?"

"Pergi ke tempat wanita yang mengaku telah hamil anakku!"

.

.

"Brengsek kamu, Theo!" teriaknya kesal pada Theo. Terlalu kesal membuat sekretaris pria itu yang sedang menghalanginya masuk sampai diam tak bergerak karena kaget.

Dengan satu gerakan tangan, Theo memerintah wanita itu keluar. Kekagetan masih terlihat jelas di matanya, tetapi wanita itu berusaha untuk menangkap sinyal yang ada. Dirinya lantas pamit dengan hormat dan meninggalkan kedua pria itu.

"Sabar, Rav. Jangan langsung masuk dengan barbar begini. Kita memang teman, tetapi ini tetap kantorku bukan kebun binatang. Jadi, kenapa? Ada alasan apa kamu datang ke sini?"

"Alasan katamu?! Alasanku jelas! Asal kamu tahu, salah satu karyawanmu sudah bikin seluruh dunia anggap bahwa aku hamilin dia!"

"Hah? Siapa maksudmu?" tanya pria itu masih tak mengerti.

"Amaya! Cepat kamu suruh karyawan dengan nama itu muncul di depanku!"

"Kamu pikir karyawanku itu hanya sepuluh orang. Nama Amaya di sini banyak. Jika, memang ingin menanyakan nama orang, harusnya kamu beri aku nama panjangnya," jawabnya masih berusaha untuk tetap tenang.

Sebenarnya, pria itu sedikit mengenal akan karyawan dengan nama Amaya. Nama itu tidak terlalu pasaran, jadi mudah bagi Theo untuk mengingatnya. Terlebih, Amaya yang ia kenal juga adalah sahabatnya. Tetapi, di saat seperti sekarang, sebaiknya Theo memastikan lebih dahulu. Berdebat dengan Rava itu yang penting mengandalkan otak bukan otot.

[End] Behind The WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang