"Hidup ini rumit. Perencanaan itu sulit. Pada akhirnya semua tidak berakhir sesuai ekspetasi. Jadi, sepertinya tidak ada pilihan lain. Hei, kamu! Tidak ada lagi pria sebaik diriku di dunia ini, jadi jangan menangis dan pegang tanganku. Ayo, hidup sampai tua dan bosan bersama."
*****
Suara napas yang kasar dan udara panas yang mengelilingi mereka masih terasa sangat jelas. Tubuh kekar Rava akhirnya sedikit menjauh dari Amaya, walau lengannya tetap memeluk tubuh wanita itu. Ia tidak pernah tahu bahwa kebersamaan dengan seseorang, terlebih wanita, bisa membuatnya sangat bahagia. Untuk pertama kalinya Rava merasa puas.
Mata mereka bertemu. Keadaannya kacau dan senang. Seperti sebuah ekstasi, Amaya baru tersadar bahwa pria di hadapannya benar-benar membuat candu untuknya. Aromanya, sentuhannya, hingga tatapannya bisa membuat Amaya mendamba. Sepertinya, dahulu matanya benar-benar buta saat tidak tertarik dengan suami seksinya ini.
"Bagaimana?" tanya pria itu pelan.
"Apanya yang bagaimana?"
"Maksudku, apa sekarang kamu mencintaiku?"
Diam. Amaya tidak menjawab dan malah membenamkan wajahnya pada dada bidang Rava.
"Aku tidak tahu, tetapi aku senang. Aku senang melihatmu tersenyum dan tertawa bersamaku. Aku senang saat kamu menyatakan perasaanmu. Dan aku senang dengan situasi ini."
Amaya malu. Mengungkapkan perasaannya secara jelas benar-benar membuatnya sangat malu. Bahkan Rava bisa sadar dengan melihat cuping telinga Amaya yang mulai memerah. Benar-benar membuat gemas. Gairah yang awalnya padam, mulai kembali membakar tubuh pria itu. Ia harus menahannya, ini pengalaman pertama bagi wanita itu dan Rava tidak ingin menyakitinya.
"Kamu benar-benar membuatku gila. Mulai besok aku tidak akan lagi menahan diri," kata pria itu senang sambil terus mempererat pelukan pada tubuh Amaya.
Ah, Rava benar-benar sudah mabuk cinta sepertinya.
.
.
Tidak perlu memanggil dukun untuk menerawang aura bahagia yang jelas terpancar dari raut wajah Rava. Seluruh penghuni rumah mulai dari supir, pembantu, hingga anak-anak sangat sadar seratus persen bahwa pria itu sedang dalam mood yang sangat senang.
Dava bertengkar dengan Hana di meja makan, tetapi Rava hanya menertawakan pertengkaran itu. Kopinya terasa sangat pahit karena Amaya lupa menaruh gula di dalamnya, tetapi Rava tetap meminum kopi itu sambil tersenyum cerah dan diam-diam mengecupnya saat anak-anak masih sibuk bertengkar. Jalanan macet yang biasanya membuat kesabaran pria itu habis, kali ini justru dimanfaatkan untuk menggoda Amaya habis-habisan.
Seperti pria penggoda, untuk pertama kalinya Amaya melihat Rava yang super genit. Namun, anehnya Amaya justru menerima dengan senang setiap godaan yang ditawarkan Rava. Pasangan bodoh itu benar-benar kembali seperti anak remaja yang berada pada masa puber.
.
.
Rava tak bisa fokus. Meskipun kini ia sedang bekerja, seluruh pikirannya hanya tertuju pada wanita itu. Malam penuh gairah yang ia habiskan bersama Amaya terus muncul dalam benaknya dan memancing senyum di bibir Rava sepanjang hari. Tak henti-hentinya pria itu melirik jam, menanti waktu pulang agar bisa melihat wajah manis istrinya.
Begitu tiba waktunya, dengan segera Rava mengambil kunci mobil untuk menjemput Amaya. Sebelumnya, Rava sudah mengirimi pesan terus-menerus, mengingatkan wanita itu untuk menunggunya di depan kantor, membuat Amaya jengkel hingga mengatainya cerewet. Pria itu tak ambil pusing dan justru senang mendapat omelan yang dinilainya imut itu.
Sesampainya di depan kantor Amaya, Rava mendapati wanita itu yang tersenyum lebar karena melihatnya, membuat detak jantung Rava tak karuan karena senangnya.
"Mau ke mana?" tanya Amaya saat Rava mulai menjalankan kembali mobil.
"Bercinta."
Ucapan Rava spontan mendapat pukulan pelan dari Amaya. Pria yang tak tahu malu, padahal bulan saja belum menampakkan diri, tetapi sudah berani berkata yang tidak-tidak.
"Aku tidak bisa menunggu lebih lama. Di rumah ada anak-anak, jadi bagaimana kalau sekarang kita pergi ke hotel?" lanjutnya memohon.
"Kamu gila! Aku seperti wanita panggilan tahu! Pulang dan tunggu anak-anak tidur, atau kamu tidur sendiri di hotel sana!"
Rava hanya bisa memasang wajah memelas. Pria yang tak sabaran itu, akhirnya menyalurkan sedikit rasa frustasinya dengan memangut bibir ranum Amaya di tengah macetnya jalan pulang. Ia bahkan tidak menghiraukan klakson pengemudi lain, saat lampu telah berganti warna menjadi hijau, membuat Amaya malu setengah mati.
.
.
Merasa yakin bahwa anak-anak sudah tertidur lelap, Rava langsung memeluk istrinya dan membawanya ke kamar mereka. Segera setelah menutup pintu, Rava menarik tubuh Amaya ke arahnya dan menempelkan bibirnya pada bibir merah wanita itu. Aroma manis Amaya mulai membuat gairah Rava semakin menjadi.
"Tunggu sebentar," ucap wanita itu di sela-sela ciuman panasnya.
"Aku sudah menunggu seharian, jadi biarkan aku melakukannya sekarang."
Tanpa mempedulikan protes Amaya, ia menarik wanita itu ke arah tempat tidur. Tangannya dengan cepat melucuti pakaian yang dikenakan Amaya. Wanita itu hanya bisa mengalah dan menikmati cinta yang ditawarkan Rava.
.
.
Sejak saat itu, Rava tak habis-habisnya memberikan cinta pada Amaya. Fantasi pria, ia bilang itu namanya, dan Amaya dengan bodoh mengikuti semua keinginan Rava. Bukan karena terpaksa, tetapi karena wanita itu menikmatinya. Bercinta dengan suami tampannya itu ternyata benar-benar menyenangkan. Mubazir 'kan jika dilewatkan.
Seperti yang dikatakan Rava, fantasi pria itu memang tidak terbatas. Pernah sekali waktu Rava mengirim anak-anak ke rumah kakeknya dan meliburkan para pekerja rumah, membuat Amaya terjebak hanya bersamanya di rumah. Yang menjadi masalah adalah energi Rava yang tidak ada habisnya. Bahkan walaupun ia sudah menyalurkan cinta dan fantasinya di dapur, pria itu masih menginginkan Amaya kembali untuk menghangatkan tubuhnya di kamar mandi dan kamar mereka tentunya.
Pernah pula Rava mengajaknya menonton, tetapi justru menghabiskan waktunya dengan mencumbu Amaya tanpa henti. Wanita itu senang dan juga lelah. Cinta Rava membuat tubuhnya lemas hingga Amaya akhirnya bolos kantor.
Beruntung, kesibukannya dengan pria itu tidak membuat Amaya lupa dengan pernikahan Helen. Hari besar itu akhirnya tiba. Dengan cantik, Amaya berdandan sebaik mungkin sebagai salah satu pengiring pengantin Helen.
Hari itu ... ia mengenakan dress berwana pastel bermodel sederhana yang dipadukan dengan bros mawar cantik. Tampilan Amaya saat itu benar-benar elegan dan menarik. Membuat Rava yang baru masuk ke kamar terpukau karena kecantikkan wanita itu. Bukan hanya Rava, wanita itu pun terpukau dengan tampilan suaminya yang mengenakan tuxedo hitam dan terlihat sangat tampan.
"Jangan keluar."
"Apa?" tanya Amaya bingung.
"Kamu nanti bisa menyaingi pengantinnya. Bagaimana ini? Aku ingin mengurungmu saja di kamar."
Amaya tertawa. Pria itu sungguh menggelikan dan tak masuk akal.
"Bagaimana, ya? Aku justru ingin keluar dan menggoda sebanyak mungkin pria di pesta," balas Amaya dengan nada centil.
"Coba saja dan aku akan menghancurkan pria itu."
Amaya mengecup pelan pipi Rava.
"Tenang saja, aku lebih suka dengan fantasi priamu, kok."
Ia pergi meninggalkan Rava dengan hasratnya. Sabar. Dengan sabar, Rava menenangkan diri dan selanjutnya menyusul Amaya.
.
.
Ditulis oleh: Penulisdsy
Vote, follow, dan komentar jangan lupa

KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Behind The Wedding
Romance[Romance - 19+] Follow dulu, baru dibaca. -PRIA yang LICIK bagai RUBAH- Dari semua cerita dongeng aku paling benci dengan kisah putri tidur, karena ia mendapat bahagia hanya dengan tertidur. Ingin sekali aku membangunkan dan menyadarkannya bahwa ti...