"Tidak usah dipikirkan dan cukup dijalani. Jalan pikiran bebas dan seenaknya itu tampaknya menyenangkan"
*****
"Kenapa lagi?" tanya Amaya langsung setelah duduk di depan Ragil. Wanita itu sekarang sudah ada di sebuah restoran. Memenuhi janji makan malam untuk menyelesaikan semua permasalahan di antara mereka.
"Pesanlah dulu makanan. Kudengar pasta di sini sangat enak," balas Ragil dengan senyum yang tak lagi cerah. Ia tidak lagi terlihat sama seperti dahulu.
"Aku tidak datang ke sini untuk makan pasta, Gil. Jadi, jangan lagi buang waktuku."
"Kamu berubah, ya. Kamu tidak lagi semangat saat bertemu dan berbicara denganku."
"Semua orang berubah, termasuk aku. Hanya kamu seorang yang terus sama. Terus menganggap dirimu benar dan menyalahkan diriku sebagai gantinya."
"Aku tidak menyalahkanmu, May. Aku hanya ingin bersama denganmu seperti dahulu."
"Seperti dahulu," cicit Amaya sembari mengangkat satu sudut bibirnya.
"Aku sudah tidak sudi hidup dalam masa lalu, Gil. Kamu pikir mudah bagiku untuk melangkah maju seperti sekarang. Aku juga menunggu sampai nyaris muak. Namun, kamu di sana hanya terus meraih mimpimu. Tidak mengabari dan sekarang kamu menuntutku untuk kembali padamu. Kamu memang selalu egois, Gil," lanjut Amaya dengan suara yang sudah bergetar karena amarah.
Mungkin benar kata pepatah. Semakin lama seseorang memendam perasaan, pada akhirnya semua akan meluap pada satu momen yang tepat.
"Tenang dulu, May." Tangan pria itu mencoba untuk meraih pergelangan tangan Amaya yang langsung ditepisnya dengan cepat.
"Hentikan, Gil. Kita sudah tidak lagi bisa kembali seperti dahulu. Aku sudah terlalu lelah menunggu matahari yang tidak pernah kunjung bersinar. Sejak awal, pelangi yang kamu janjikan juga hanyalah ilusi yang terlahir dari bias cahaya. Pada akhirnya, hujan sepertiku lebih cocok bersanding dengan pria seperti Rava. Pria ... yang menjadi payung dalam hidupku."
"Payung membenci hujan. Kalian tidak akan pernah bahagia."
"Memang benar. Payung memang ada untuk memusuhi hujan. Namun, ia selalu ada bersama hujan. Dengannya aku merasa ditemani, beriringan, dan merasa senang. Aku merasa lengkap, Gil."
"Amaya ...."
"Aku pamit, Gil. Matahari sejak awal terlalu cerah untukku."
Amaya akhirnya bangun dan meninggalkan Ragil. Tidak lagi ada alasan baginya untuk tetap diam di sana. Ia sudah merelakan Ragil. Merelakan mimpi panjang yang selalu menjebaknya dalam semu.
.
.
Wanita itu sudah sampai di rumah. Macet di jalan, membuatnya baru sampai hampir di tengah malam, sehingga tidak ada yang menyambut Amaya saat itu selain Mbak Yuni. Anak-anak sudah tidur, sementara Rava masih berada di ruang kerja menurut pembantu rumah tangganya itu.
Tidak ingin mengganggu lebih lama, maka dengan segera Amaya pamit. Langsung melangkah menuju ruang kerja Rava untuk menemui pria itu.
Namun, takut tiba-tiba memenuhi Amaya begitu dirinya sudah berdiri di depan pintu. Ia yang sudah berani memutus hubungan dengan Ragil kembali menjadi pengecut saat ingin jujur dengan suaminya.
Untuk beberapa saat Amaya hanya diam dan melihat lekat badan pintu. Sampai akhirnya ia memberanikan diri. Lantas mengetuk dan masuk pada detik selanjutnya.
.
.
"Kamu baru pulang?" tanya Rava setelah melihat istrinya masuk ke dalam ruang kerjanya.
Sebagai balasan, Amaya hanya mengangguk kecil. Masih terus melangkah, kemudian menggambil sebuah kursi kecil di sudut ruang, dan lantas menempatkannya di samping kursi kerja Rava.
"Ada apa?" tanya Rava lagi sembari mengubah posisi duduk. Sudah berhadapan tepat di depan Amaya.
"Aku ingin membicarakan tentang hubungan kita, Rav."
Melihat wajah serius Amaya membuat hati pria itu mendadak gelisah. Ia merasa tidak siap. Takut jika istrinya tiba-tiba ingin kembali menjauh setelah hubungan mereka sudah sedekat ini.
"Membicarakan seperti apa, May? Aku masih tidak paham dengan perkataanmu."
Tidak langsung menjawab, lebih dahulu Amaya menarik napas dalam untuk menenangkan hatinya. Baru setelah merasa siap, ia balik menatap Rava dengan yakin.
"Kamu tahu, Rav, alasan aku telat hari ini karena aku menemui Ragil lebih dahulu. Maaf tidak memberitahumu, tetapi kupikir sudah saatnya bagiku untuk menyelesaikan semua masalah ini seorang diri."
Iris abu Rava bergetar. Panik perlahan mulai menjalar pada seluruh tubuhnya. Dalam hati, ia merapal doa. Berharap agar semua pemikiran buruk yang terlintas dalam benaknya tidak terjadi.
"Lalu, bagaimana hasilnya? Kamu sudah menyelesaikan semuanya?"
"Iya, sudah." Amaya tersenyum dengan lega. Lantas melanjutkan, "Aku sudah memutus tuntas hubungan kami. Mungkin, sejak awal hubungan kami sudah berakhir, hanya saja masih ada keraguan di antara aku dan Ragil."
"Dan sekarang ... apakah kamu masih meragu?"
Amaya menggeleng. Lantas kedua tangannya memegang erat bahu Rava. Masih dengan tatap yang melihat lekat iris abunya.
"Aku tidak meragu dan ingin memulai hubungan baru denganmu. Bukan hubungan yang seperti kamu dan aku janjikan di awal pernikahan. Namun, hubungan sesungguhnya antara wanita dan pria."
Rava mengerjapkan mata. Rautnya yang semula kaku, lantas menenang bersama dengan sudut-sudut bibirnya yang melengkung sempurna. Membentuk sebuah tawa indah sebagai tanda bahagia.
"Ayo, kita mulai lagi dari awal. Belajar untuk bisa saling memahami, menghargai, dan menjaga pernikahan ini," balas Rava sembari satu tangannya mengelus lembut puncak kepala istrinya. Membuat wanita itu bersemu padam. Makin merekahkan senyum Rava yang merasa telah mampu menggengam dunia saat itu juga.
.
.
Ditulis oleh: Penulisdsy
Vote, follow, dan komentar jangan lupa
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Behind The Wedding
Romantiek[Romance - 19+] Follow dulu, baru dibaca. -PRIA yang LICIK bagai RUBAH- Dari semua cerita dongeng aku paling benci dengan kisah putri tidur, karena ia mendapat bahagia hanya dengan tertidur. Ingin sekali aku membangunkan dan menyadarkannya bahwa ti...