Bab 1

203K 7.8K 76
                                        

"Aku bukan tokoh utama. Aku hanyalah tokoh kedua yang selalu berperan layaknya tokoh utama."

******

Teriknya sinar mentari selalu dengan bebas masuk ke dalam ruangnya yang dibatasi oleh kaca besar dan kokoh dari dunia luar. Di depan bingkai kaca tersebut, terdapat meja kerja dengan setumpuk berkas-berkas di atasnya. Bagai menunjukkan identitas pemiliknya, ruangan kantor yang luas itu didesain dengan gaya semaskulin mungkin.

Tanpa bingkai foto, hanya sebuah lukisan abstrak besar yang entah apa artinya, tergantung rapi di dinding ruangan. Sejajar dengan lemari kaca kosong. Ruangan yang didominasi dengan warna abu-abu dan putih itu benar-benar tampak sangat dingin. Sama dengan tatapan seorang pria yang kini sedang menatap tajam ke arah luar.

Mengabaikan seluruh dokumen yang harus ia periksa, Rava—nama pria itu—hanya terus berdiri tegap. Memperhatikan seorang wanita yang sedang duduk di bangku taman tak jauh dari kantornya. Letak ruang kerja yang berada di lantai dua membuat Rava bisa melihat dengan jelas gerak-gerik wanita tersebut.

Seakan sadar sedang diamati, wanita itu tiba-tiba mendongakkan wajah tepat ke arah ruangan Rava. Sedetik, dua detik, hingga sepuluh detik mungkin mata mereka menatap satu sama lain. Entah karena tertarik atau bosan, Rava yang selalu dingin pada wanita tetap tidak melepaskan tatapannya dari wanita itu. Dan ketika wanita tersebut dengan satu gerakan cepat menundukkan kembali pandangan lalu pergi meninggalkan kursinya, ada perasaan kehilangan yang Rava rasakan.

"Wanita kamis itu akhirnya sadar juga dengan keberadaanku," gumamnya pelan.

Wanita kamis adalah sebutan yang Rava berikan pada wanita tersebut. Alasannya sederhana, karena wanita itu selalu ada di taman pada hari Kamis. Bahkan walau dalam cuaca hujan sekali pun, ia tetap datang ke taman di jam dan hari yang sama. Hal inilah yang membuat Rava tertarik untuk mengamatinya.

Segera ketika wanita itu pergi, Rava kembali pada posisi awal. Duduk dengan nyaman di kursi kerja. Siap untuk membereskan semua berkas-berkas yang dari tadi ada dan seakan meminta untuk segera diselesaikan.

"Apa wanita kamis itu datang kembali minggu depan, ya?" tanyanya lebih ke arah diri sendiri.

"Terserahlah. Dia datang atau tidak sama sekali bukan urusanku," balasnya cepat dan kembali sibuk dengan seluruh pekerjaan.

*****

Amaya terus mempercepat langkah kaki. Meski, napasnya sudah memburu dengan keringat yang telah meluncur mulus dari dahi dan pipi, ia tetap tidak menghentikan langkahnya. Semua ini terjadi karena pria aneh itu. Pria yang memandanginya saat ia sedang menikmati waktu santai di taman.

Bukan. Bukan penampilannya yang membuat Amaya mengatainya 'aneh'. Namun, karena tatapan pria itu. Tatapan yang mampu menarik Amaya ke dalam netra abunya. Membuat Amaya takut.

Pria berbahaya, pikirnya di sela-sela langkah, dan kemudian menghilang masuk ke dalam satu bangunan besar. Baru setelah merasa aman, ia berhenti sejenak. Berusaha menarik masuk oksigen yang sedari tadi sulit untuk dirasakan.

"Oi, Maya!!"

Suara nyaring dari balik punggungnya, lantas membuat Amaya menoleh kaget. Merasa terkejut dengan hati masih berdebar.

"Aduh! Kamu buat aku kaget saja, Len!"

"Kenapa, sih? Kamu ini kerjanya marah terus. Lagi pula, salah sendiri karena enggak sadar saat aku panggil dari tadi! Berasa artis saja kamu!" jawab Helen tak mau kalah.

"Sorry. Tadi aku lagi panik, jadi enggak dengar panggilan kamu."

"Panik? Memangnya, kenapa kamu sampai sebegitu paniknya?" tanya Helen penasaran, membuat Amaya tak lagi memiliki pilihan. Setelah menimbang cukup lama, akhirnya wanita itu menceritakan seluruh kejadian di taman yang langsung disambut tawa keras oleh Helen.

"Kenapa kamu malah tertawa, sih?!"

"Karena kamu terlalu berlebihan, May. Mungkin saja pria itu bukan melihatmu, melainkan pohon di belakang kamu."

"Serius, pria itu menatap aku. Mata kita saja sempat bertemu, kok!"

"Perasaan kamu saja, May. Sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Lebih baik sekarang kita cepat masuk, sebelum kena marah Bu Nia karena telat balik jam makan siang."

Dengan pasrah, Amaya hanya bisa mengikuti langkah Helen. Menghela napas berat. Takut diomeli Bu Nia, yang sedari awal seakan memiliki dendam pada semua karyawan perempuan di kantor.

Apa aku hanya parno saja, ya?

Amaya melangkah masuk ke dalam ruangan. Kemudian, ia menggeleng pelan. Memutuskan untuk mengabaikan semua pikiran terhadap pria aneh itu dan fokus melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.

.

.

Ditulis oleh: Penulisdsy

Vote, follow, dan komentar jangan lupa

[End] Behind The WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang