"Aku mencintaimu sebanyak aku mengenalmu. Aku mengenalmu sebanyak aku mencintaimu. Karena aku mencintaimu maka aku membutuhkanmu. Itulah bentuk cintaku. Sejak awal sampai akhir selalu memiliki dua sisi. Kesedihan dan kebahagiaan. Walaupun terkadang rasanya perih dan sakit, tetapi cinta ini bukanlah sesuatu yang dapat kuhentikan. Aku terlahir untuk ini, untuk perasaan cintaku padamu."
*****
-Satu Tahun Lalu-
Amaya menarik napas panjang, berusaha menghirup udara segar di kota Vaduz selama mungkin. Keindahan kota itu semakin terasa kala musim panas tiba. Hamparan padang rumpun yang luas, tertata rapi di sepanjang lembah pegunungan Alpen dan sepanjang sisi sungai Rhein. Banyak tempat wisata yang menjadi favorit Amaya saat berada di ibu kota negara Liechtenstein tersebut.
Jarang ada yang tahu mengenai negara itu. Negara kecil yang berada di Eropa Barat tersebut menjadi salah satu negara paling tentram dan indah di dunia. Tempat bagi orang-orang yang ingin mencari ketenangan. Itulah alasan mengapa Amaya memilih untuk tinggal sementara di negara tersebut. Ingin menjauh dari semua masalah yang menggerogotinya.
Perjalanan menuju negara itu dapat ditempuh dengan kereta maupun mobil melalui perbatasan Austria dan Switzerland. Tidak memakan waktu lama. Hanya butuh dua jam sembari melalui indahnya hutan cemara hingga sampai ke kota Schaan yang terletak tepat bersebelahan dengan Vaduz.
Amaya tinggal di sebuah rumah kecil yang terletak di salah satu sudut kota. Tidak ada yang ia kenal di sana. Semua benar-benar dimulai dari awal. Menyapa orang-orang baru, hidup sebagai pekerja di ladang anggur milik Tuan Ray. Hingga menjadi salah satu sukarelawan yang mengajar rutin di suatu panti asuhan yang terletak di pusat kota.
Wanita itu mendesah pelan. Meski ia berada jauh di sekitar pegunungan Alpen, tetapi tetap saja di otak wanita itu dari pagi sampai tidur hanya memikirkan Rava seorang. Bukan hanya Rava, juga anak-anaknya, Hana dan Dava. Mereka selalu berada di hati Amaya.
Waktu masih berlalu dengan normal. Hatinya tetap terasa sakit. Bahkan, walau setahun sudah berlalu, sakitnya masih terasa sama seperti awal kepergiannya dari Jakarta. Yang berbeda hanyalah fakta bahwa ia tak lagi menghabiskan malamnya dengan tangisan panjang.
Selama setahun terakhir, ia terus mengisi sebagian besar waktunya dengan mengurusi anak-anak di panti asuhan. Sisanya ia habiskan di ladang anggur. Amaya tidak keberatan dan justru menjadikan kegiatan itu sebagai penebusan dosa. Anggaplah sebagai hukuman atas ketidakmampuan menjaga anaknya. Anak yang bahkan ia tidak ketahui sejak awal.
Jika mengingat hal itu lagi, maka hatinya menjadi sedih kembali. Berusaha ia tutupi. Namun, tetap saja terasa sedih dan hampa. Ia masih tidak sanggup mengusir kenangan manis dan pahit yang terajut saat bersama Rava.
Semakin keras wanita itu melupakan, maka semakin kuat pula sosok pria itu dalam benaknya. Amaya tidak tahu harus sampai kapan terus berlari dan bersembunyi dari kenyataan yang ada. Sesungguhnya, wanita itu sama sekali tidak membenci Rava. Ayah telah menjelaskan seluruhnya pada Amaya.
Mulai dari kejahatan Kintan, penyesalan Rava, kondisi anak-anak, hingga fakta sesungguhnya yang terjadi pada kedua orang tua Rava. Seluruh cerita itu diberitakan satu per satu melalui surat yang dikirim setiap bulannya. Perlahan, Amaya mulai memahami Rava.
Ia memang kehilangan janinnya karena pria itu. Ia terluka. Pasti. Namun, Amaya juga tahu bahwa Rava sama terluka seperti dirinya. Wanita itu ingin memeluk pria egois yang memberikan cinta padanya. Ia merindukan Rava. Sangat. Namun, di satu sisi ia takut.
Apakah boleh aku kembali? Apakah aku layak untuk bahagia? Semua itu bagai mimpi. Bagaimana jika suatu saat semua hilang kembali seperti saat ini? Bolehkah aku mendapat cintanya?

KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Behind The Wedding
Romance[Romance - 19+] Follow dulu, baru dibaca. -PRIA yang LICIK bagai RUBAH- Dari semua cerita dongeng aku paling benci dengan kisah putri tidur, karena ia mendapat bahagia hanya dengan tertidur. Ingin sekali aku membangunkan dan menyadarkannya bahwa ti...