"Tidak butuh alasan untuk bernapas. Tidak pula untuk makan atau minum. Semua dilakukan sebagai bentuk rutinitas. Lalu, tidak bisakah bersamamu menjadi salah satu rutinitasku?"
*****
-Flashback-
Rava yang sedari awal tidak tenang saat mendengar Amaya akan pergi ke club, langsung tersenyum cerah mendengar ajakan Hilmi untuk membututi tunangannya—Helen. Pria yang awalnya takut menikah itu, kini berubah menjadi pria super protektif yang seakan-akan takut tunangannya akan dibawa kabur oleh pria lain. Alhasil, kini mereka berdua ditambah Theo berhasil mengamati lekat-lekat sekerumunan wanita heboh yang sedang sibuk berpesta.
Jika ditanya alasan Theo tiba-tiba ada dalam satuan pengintaian itu, jawabannya mudah. Mereka, tepatnya Rava, tidak mau hanya berdua saja bersama Hilmi. Jadi, Rava memaksa atau lebih tepatnya mengancam Theo untuk ikut dalam satuan tersebut.
Tidak disangka, Theo yang semula terus menggerutu, kini justru tampak ikut fokus mengamati kerumunan wanita yang menjadi target pengamatan mereka. Entah siapa yang membuatnya tertarik, Rava tidak terlalu peduli. Baginya yang terpenting saat itu adalah Amaya. Jangan sampai wanita itu meminum alkohol yang bisa membuatnya tampak seksi dalam sekali tenggak.
.
.
-Di Sisi Lain-
Kintan mulai mengepalkan kedua tangannya. Ia yang sejak awal juga mengikuti Amaya bersama Ragil, merasa kaget dan cemburu begitu melihat Rava juga ikut membututi wanita itu.
Kintan paham, bahkan sangat tahu bahwa Rava bukanlah orang yang akan membuang waktunya hanya untuk sekadar mengikuti seorang wanita. Jadi, jelas pria itu benar-benar telah berubah tidak seperti dahulu saat bersamanya.
"Sejak awal aku sudah bilang, singkirkan priamu dari Senja," tegas Ragil tanpa melepaskan tatapannya dari Amaya.
Namun, diberitahu seribu kali pun oleh pria yang sekarang duduk di sampingnya itu, tidak membuat Kintan tersadar. Ia masih diam. Tidak mampu membalas dan hanya terfokus pada Rava yang masih lekat memperhatikan istrinya.
Semakin lama Kintan memperhatikan, maka semakin besar pula amarah yang terpendalam dalam diri wanita itu. Pada akhirnya, Kintan memutuskan untuk pergi sebentar. Lantas secara diam-diam memesan minuman yang langsung ia berikan campuran drug sebelum diantarkan pelayan.
Tidak ada yang sulit baginya. Terlebih dengan semua uang yang dimiliki Kintan cukup mampu untuk menutup mulut pelayan tersebut.
Sebenarnya, tidak ada tujuan jelas bagi Kintan untuk mencampur drug dalam minuman Amaya. Bahkan, jika wanita itu pingsan sekali pun, Ragil pasti akan langsung datang membantunya.
Kintan hanya sekadar mencoba peruntungan dengan minuman tersebut. Berharap agar Amaya langsung meracau dan menggoda salah satu pria brengsek dalam club. Setidaknya, dengan melihat sikap jalang sebenarnya dari istrinya itu, Rava dapat sedikit sadar dan memikirkan segera perceraian mereka.
Meski, akhirnya Kintan tidak dapat menerima keberuntungan yang sangat diharapkannya. Tubuh Amaya terlalu lemah sampai langsung ambruk tanpa perlawanan.
Sebaliknya, bukan raut benci yang bisa Kintan lihat dari Rava melainkan raut teramat khawatir saat tiba-tiba pria itu berlari, lantas datang ke lounge tempat istrinya duduk seorang diri. Ragil bahkan kalah cepat dari pria itu.
"Benar-benar menyebalkan," lirih Kintan tanpa sempat disadarinya.
Kintan sekarang sudah amat iri. Begitu pula dengan Ragil yang sudah menggertakkan gigi dengan iris cokelatnya masih melihat tajam. Namun, tidak banyak yang keduanya bisa lakukan saat itu. Mereka hanya bisa diam melihat sembari menahan seluruh kesal yang ada.
-Flashback End-
.
.
Seperti mengulang malam di Lombok, lagi-lagi Rava kembali sibuk membawa Amaya pulang ke rumah, setelah tadi ia melihatnya tiba-tiba pingsan beberapa saat setelah meminum segelas minuman. Rava yakin ada yang menaruh obat dalam minuman Amaya, karena tidak mungkin segelas alkohol biasa mampu membuat seseorang langsung ambruk seperti itu.
Beruntung, dirinya ada di sana. Jika tidak, pasti orang gila yang mencampur obat dalam minuman Amaya sekarang sudah berhasil menjamahi tubuh wanita itu. Membayangkan kemungkinan tersebut saja langsung membuat Rava jijik dan marah setengah mati.
Tidak ingin membangunkan anak-anak, dengan perlahan, Rava masuk ke dalam rumah sembari membopong Amaya dalam gendongannya. Ditaruh tubuh wanita itu di atas tempat tidur milik mereka dengan teramat hati-hati.
Sebut Rava bajingan, karena dirinya masih berhasrat untuk mencicipi sedikit lembut kulit Amaya yang tampak terlihat dari balik gaun cokelatnya. Sekuat tenaga, pria itu menahan gairah. Langsung memutuskan untuk mandi air dingin dan pergi secepat mungkin dari hadapan Amaya.
Namun, belum sempat Rava berbalik, tiba-tiba saja tangan mungil Amaya menggapai dan menarik ujung baju Rava, membuatnya tertahan untuk tetap bersama wanita itu.
Dilihat istrinya yang masih pulas terlelap. Memandangnya ternyata benar-benar membuat pikiran dan tubuh Rava tersiksa. Sampai pertahanan pria itu runtuh. Tergoda juga untuk sedikit mencicipi bibir mungil milik Amaya.
Perlahan, Rava mendekatkan wajahnya pada putih wajah istrinya. Menyisakan hanya sedikit jarak. Membuat bibir keduanya akhirnya dapat menyatu satu sama lain.
Perasaan yang semula hanya ingin mencecap kini berubah menjadi lumatan hingga membuat Rava menggeram. Tangannya yang awalnya hanya diam, sudah sibuk bergerilya menyentuh setiap ruang yang ada di balik gaun terusan Amaya.
Rava ingin berhenti, tetapi tidak dengan tubuhnya. Jika boleh jujur, pria itu memang benar-benar menginginkan setiap inci dari tubuh Amaya. Namun, tidak adanya perlawanan membuat gairah Rava perlahan berganti dengan rasa bersalah.
Dengan susah payah, pria itu memutuskan untuk menghentikan semua kegilaan. Lantas menarik tubuhnya dan kembali memberi cukup jarak dengan Amaya.
"Cintakah aku padanya?"
Tiba-tiba pertanyaan itu keluar dari bibirnya. Dalam diam, Rava terus memikirkan alasan di balik perasaannya pada wanita yang masih memejamkan matanya itu. Dusta namanya jika Rava menyangkal keinginan untuk memiliki Amaya. Meski, Rava masih tetap belum yakin akan cinta yang memang belum pernah dirasanya itu.
Mencoba menenangkan diri, Rava akhirnya merapikan kembali gaun Amaya dan lantas pergi dari kamar itu. Bukan untuk mandi dingin. Bukan pula untuk menghindar. Namun, untuk memikirkan lagi hubungannya bersama Amaya.
.
.
Ditulis oleh: Penulisdsy
Vote, follow, dan komentar jangan lupa
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Behind The Wedding
Romance[Romance - 19+] Follow dulu, baru dibaca. -PRIA yang LICIK bagai RUBAH- Dari semua cerita dongeng aku paling benci dengan kisah putri tidur, karena ia mendapat bahagia hanya dengan tertidur. Ingin sekali aku membangunkan dan menyadarkannya bahwa ti...