Bab 11

72.9K 4.3K 77
                                    

"Dalam kisah putri salju, sang putri yang telah memakan apel beracun dari ibu tirinya akan terbangun karena ciuman sang pangeran. Namun, dalam kisahku, sang pangeranlah yang memberikan apel beracun dan mengambil semua yang kumiliki"

*****

Amaya masih berdiri penuh ragu di depan pintu kantor Rava. Setelah berhasil memalukan atasan dari perusahaan tersebut dan berakhir dengan dipanggil dirinya dengan amat mendadak, maka Amaya tidak memiliki lagi pilihan selain untuk datang dan menyelesaikan masalah secara tuntas. Dipikirkan seorang diri pun, ia tidak mampu mendapat jalan keluar untuk membersihkan image pria yang terlanjur dihancurkannya. Jadi, lebih baik ia menemui pria tersebut dan mendengar langsung solusi yang ditawarkan.

Tetapi ... benarkah pria itu akan memberiku solusi? Kemarin malam ia memang tiba-tiba menghubungi dan bilang memiliki jalan keluar. Namun, rasanya agak aneh juga, bukan? Mungkinkah ia ingin menjebak diriku? Ah, sudahlah. Lebih baik masuk saja.

Setelah sebentar berdebat dengan hatinya, maka Amaya memutuskan untuk melangkahkan kaki. Kanan dan kiri. Masuk melewati pintu utama bangunan dengan terus menatap lurus. Bukan tanpa alasan, wanita itu hanya fokus melihat depan. Ia memang sengaja menghindari tatap tiap orang yang tertuju padanya. Terasa amat kentara bagai dirinya adalah artis mendadak yang baru saja tenar.

"Mbak, bisa minta tolong untuk bertemu dengan Pak Rava Herdiansyah?" tanyanya pada resepsionis yang sama dengan yang ditemui kemarin saat dirinya membuat masalah.

Namun, wanita yang ditanyai Amaya itu hanya melihatnya dengan tatap terkejut. Lantas mempersilakan dirinya masuk dengan gemetar pada suara tipisnya.

Apa dia masih menganggapku sebagai wanita gila yang bisa mengamuk kapan pun?

Tidak ingin ambil pusing, maka Amaya memilih untuk langsung masuk ke dalam lift menuju lantai lima sesuai intruksi resepsionis tersebut. Kemudian, tepat saat pintu besi tersebut membuka, maka tanpa banyak bicara ia melangkah kembali. Berjalan menuju meja resepsionis lainnya di lantai tersebut untuk kembali memastikan letak ruangan yang ingin didatanginya.

"Permisi, Mbak. Ruangan Pak Rava Herdiansyah di mana, ya?"

"Ruangan Pak Rava ada di lantai dua, Bu."

Hah? Lantai dua? Lalu, kenapa aku disuruh datang ke sini?

Seolah mampu membaca kebingungan di raut Amaya, maka wanita muda di depannya kembali membuka suara.

"Sebelumnya, apa Ibu sudah buat janji lebih dahulu dengan Pak Rava?"

"Oh, iya. Sudah."

"Janji atas nama siapa?"

"Amaya. Ibu Amaya."

"Oh, dengan Ibu Amaya. Kalau begitu silakan ikut bersama saya. Pak Rava sudah menunggu kehadiran, Ibu."

Mengikuti resepsionis itu, maka dalam diam Amaya melangkah kembali di belakangnya. Sampai mereka menemui sebuah pintu kaca besar yang tampak buram dari luar. Lalu, tanpa menunggu lagi, wanita di depan Amaya itu sudah mengetuk dua kali, memberitahu kedatangan, dan langsung membuka begitu mendapat persetujuan dari dalam.

Pria itu ....

Tatap Amaya langsung menunduk begitu kedua irisnya bertemu langsung dengan abu mata Rava. Pria itu sudah duduk seorang diri dalam ruangan dan melihat tajam tepat ke arah dirinya. Terlalu tajam sampai Amaya bahkan tidak sempat memperhatikan lagi ruangan yang baru didatanginya itu. Ruangan besar yang dipenuhi belasan kursi dalam tataan lingkar-U. Ruangan yang tidak lain adalah ruang rapat dengan layar proyektor telah menyala di sudut kanan depan ruang tersebut.

[End] Behind The WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang