Bab 3

96.8K 5.4K 36
                                    

"Mereka bilang takdir ditentukan oleh Tuhan. Bagiku, akulah yang menentukan semuanya. Membuat takdirku sendiri dengan kekuatan yang kumiliki."

.

.

Pria itu terbangun. Lantas satu tangannya terangkat untuk merasakan pusing yang berputar dalam kepalanya. Sudut bibir Rava tak luput untuk bergerak. Tampak meringis dengan sisa mual yang memenuhi rongga mulutnya.

Sepertinya, aku terlalu banyak minum alkohol kemarin malam. Tapi, di mana sekarang aku berada?

Merasa bingung akan kondisi yang sedang terjadi, membuat Rava langsung memeriksa keadaan. Mulai dari ruangan luas tempatnya berada sampai pada kenyataan bahwa dirinya tidak memakai sehelai benang pun dengan seorang wanita cantik tertidur pulas di sisinya.

Siapa dia? Mungkinkah salah seorang wanita bayaran yang kusewa? Ah, persetan dengan dirinya, aku tidak peduli. Sekarang lebih baik aku pulang sebelum kakek sempat mengomentari kebiasaanku ini.

Dengan malas, pria itu mulai memakai kembali pakaian. Mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas meja dan sebagai gantinya meninggalkan selembar cek dengan angka yang cukup banyak. Ya ... cukup untuk membeli beberapa tas dan sepatu bermerek dalam sekali borong.

Tak lagi mau menunggu, Rava segera keluar dari suite hotel, turun dengan lift, dan lantas melangkah ke meja resepsionis. Tentu dengan satu tujuan yaitu untuk membayar tagihan kamar.

Selagi salah seorang resepsionis mengurusi kartu berwarna hitam yang diserahkan Rava padanya, maka dengan sigap salah seorang petugas pria yang mengenakan seragam senada memilih untuk menawarkan bantuan akan pengambilan mobil.

Rava yang seolah biasa mendapat pelayanan mewah seperti itu tidak sedikit pun menunjukkan wajah segan. Langsung menyerahkan kunci mobil tanpa banyak bicara.

"Ternyata wanita tadi sudah sangat berpengalaman. Buktinya, ia mampu mengendalikan keadaan sampai berani membawaku ke hotel. Ia bahkan menggunakan mobilku seakan tidak ingin repot mengeluarkan biaya taksi. Hah ... dasar, murahan," lirihnya sembari memberi tanda tangan untuk pembayaran kartu kredit.

Sebenarnya, pria itu bicara pada diri sendiri dengan amat pelan. Namun, sepertinya resepsionis di depannya tetap mampu mendengar sampai memberi tatapan terkejut pada Rava. Meski tidak amat kentara karena aura profesionalitas dan senyum ramah yang tetap digunakan bagai sebuah topeng.

"Terima kasih dan semoga Anda akan datang kembali ke sini," ucapnya sambil membungkuk hormat setelah balik menyerahkan kartu kredit Rava..

Kembali? Ya ... mungkin aku akan kembali dengan wanita berbeda.

Namun, tidak membuka mulut, Rava hanya acuh. Langsung membalik badan dan memutuskan untuk duduk sebentar di lobi hotel.

"Nyamannya ...," gumam pria itu saat merasakan empuk dan lembut sofa yang langsung menyambut dirinya. Rava bahkan sudah menyandarkan kepala. Menengadahkan wajah sembari memejamkan kedua mata.

Aku lelah. Benar-benar lelah.

Untuk sesaat, pria itu ingin melupakan sejenak hidupnya yang sudah terlanjur kacau. Hidup sempurna yang bagai bianglala besar. Berlalu dan berjalan di tempat yang sama tanpa akhir yang jelas.

"Permisi, Pak. Mobil Anda sudah siap."

Berat suara pria yang terdengar membuat Rava kembali membuka kedua mata. Memperlihatkan iris abu yang terlihat sedih itu.

"Terima kasih."

Hanya satu kata itu yang keluar dari mulut diamnya. Satu kata yang diiringi dengan selembar uang berwarna merah yang tidak lupa Rava berikan pada petugas tersebut. Ia paham bahwa memberi uang tip itu tidak baik. Tetapi, uang tidak terlalu berarti juga baginya.

Jadi, karena tidak ingin menerima ucapan terima kasih yang kelewat berlebihan dari petugas yang mengantar mobilnya itu, maka Rava memutuskan untuk langsung berdiri. Mengambil kunci mobil dan melanjutkan langkah.

.

.

Beruntung, hari itu hari Sabtu, sehingga ia tidak perlu repot untuk datang kantor. Jalanan Jakarta juga masih sepi di tengah sunyi malam dengan kelap kelip lampu yang tetap hidup. Jika saja Rava tidak terburu-buru, pasti ia akan menjalankan BMW-nya dengan santai sembari menurunkan kaca dan menikmati sepoi angin.

Namun, tubuhnya benar terasa lelah. Ia juga sedikit mengantuk. Jadi, sebelum dirinya benar-benar tak sadarkan diri dan malah menyebabkan sebuah kecelakaan bodoh. Maka, menjadi sebuah keputusan bijak saat Rava memilih untuk mengendarai mobil dengan laju yang cukup tinggi.

Sampai akhirnya ia sampai. Menekan kode apartemen dan langsung merebahkan diri ke atas kasur. Terang lampu yang sebelumnya ia nyalakan kini bertindak bagai selimut yang memberi hangat pada tubuh Rava. Menghilangkan dingin karena berada terlalu lama dalam mobil di tengah AC menyala.

"Sepi sekali. Akhir-akhir ini aku merasa sangat kesepian. Apa karena aku sudah tertular virus bodoh dari Hilmi?"

Wajah pria itu kini berada dalam posisi miring. Lurus dengan kedua matanya melihat polos dinding.

"Ternyata hanya dengan bersenang-senang setiap malam tidak membuat hatiku merasa lebih baik. Aku tetap saja bosan. Jenuh dan ingin kembali tidur tanpa perlu bangun," lanjutnya sembari perlahan menutup mata. Rava juga berusaha untuk mengatur deru napas. Ingin melawan jenuh yang seolah menggerogoti hidupnya.

Dalam hening yang memenuhi kamarnya, maka perlahan satu per satu masa lalu Rava kembali muncul bagai sebuah film lama. Baik itu tentang ibunya yang meninggal karena kecelakaan bersama pria lain. Maupun, tentang ayahnya yang dengan bodoh memilih untuk bunuh diri karena tidak sanggup menerima kematian istri yang mengkhianati dirinya.

Terasa kejam, tetapi tidak cukup tajam untuk bisa sampai melukai hati Rava. Pria itu seolah sudah biasa dengan ironi yang mengelilingi dirinya. Terlebih dengan kehadiran seorang kakek tua yang masih sibuk merecoki segala urusannya. Hanya karena masa lalu yang bagai sampah itu, tidak akan mampu membuatnya simpati.

Tidak. Rava tidak akan pernah peduli. Bahagia ... harapan ... dan cinta. Sejak lama ia telah menghapus ketiga kata tersebut dalam pikirnya. Ia sudah terlalu muak dan kebal akan semua kemalangan yang ada. Kemalangan ... yang terjadi karena ketiga kata terkutuk itu. Terlebih karena cinta.

Tidak. Aku tidak akan pernah mengalami kesalahan yang sama. Cinta ... lebih baik aku mati kesepian dibanding dimanipulasi olehnya yang hanya menjanjikan kebahagian semu.

.

.

Ditulis oleh: Penulisdsy

Vote, follow, dan komentar jangan lupa

[End] Behind The WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang