"It's not easy to give my heart to you. Will you please be honest with me? You know, i believe your every word"
*****
Amaya tiba di sebuah restoran kecil yang berada di pusat kota. Restoran dengan interior bergaya vintage tersebut memiliki banyak jendela besar yang memperlihatkan kehidupan kota dengan kesibukan tiap individunya. Suasana saat itu terbilang cukup ramai, mungkin karena sekarang telah masuk jam makan siang.
Bukan tanpa alasan Amaya datang ke Restoran itu. Ia harus menemui seseorang. Seorang wanita tepatnya. Wanita cantik yang pernah menolongnya dahulu.
Amaya tersenyum, tepat saat matanya bertemu dengan wanita yang dicarinya. Kintan. Wanita cantik itu beberapa hari lalu tiba-tiba saja menghubungi Amaya. Entah apa yang ingin dibicarakan, ia tak peduli. Bertemu dengan penolongnya itu sama sekali tidak merepotkan baginya.
"Hai, maaf membuatmu menunggu lama. Jalanan macet banget soalnya," kata wanita itu sambil duduk di hadapan Kintan.
"Ah ... tidak masalah, kok. Aku juga baru datang. Eh, pesan dulu saja, ya?"
"Boleh."
Amaya memperhatikan gerak-gerik Kintan yang memanggil pelayan untuk meminta buku menu. Sesekali wanita itu membuka pembicaraan, dengan menanyakan hal-hal kecil pada Amaya. Saat buku menu datang, fokus mereka pun teralihkan.
Dengan ceria, wanita di hadapannya itu merekomendasikan berbagai makanan yang dianggapnya enak. Amaya hanya mengiyakan perkataan Kintan dan langsung membuat keputusan tanpa banyak berpikir.
"Kamu jadi apa, May?" tanya Kintan sesaat setelah menyebutkan pesanannya pada pelayan.
"Aku pesan black olive fried rice, sama minumnya aku pesan affogato saja satu."
Selesai mencatat pesanan mereka, pelayan itu lantas izin pergi dan meminta keduanya untuk menunggu selama lima belas menit.
"Oh, iya. Kamu pasti kaget saat aku hubungin, ya?"
"Tidak, kok. Justru senang bisa ketemu lagi sama kamu. Memangnya kamu ada perlu apa sama aku?" tanya Amaya penasaran.
Raut wajah wanita itu berubah. Amaya tidak lagi melihat semburat senyum maupun tawa. Wanita di hadapannya sekarang sudah menjadi serius.
"Sebenarnya ada hal penting yang ingin aku bicarakan. Terkait Rava. Suamimu."
Deg!
Amaya diam. Ia kaget, begitu nama Rava terucap dari wanita yang belum lama dikenalnya itu. Dan seakan bisa membaca raut wajah Amaya, Kintan pun lantas memberi penjelasan lebih jauh.
"Aku kenal Rava. Aku juga baru tahu beberapa bulan lalu bahwa ia sudah menikah. Ia benar-benar tidak membicarakan pernikahannya denganku."
"Ah, kami memang menikah dengan cepat. Lagi pula, pernikahan kami sempat ramai diberitakan, jadi mungkin Rava lupa untuk menceritakan ke semua kenalan bisnisnya," jelas Amaya masih berusaha mengulas senyum. Dengan sembarang, wanita itu menerka bahwa Kintan adalah salah seorang kenalan bisnis suaminya.
"Kamu salah, May. Aku bukan kenalan bisnisnya. Aku kekasihnya. Jadi, wajar 'kan jika aku mendapat berita tentangnya?"
.
.
Pesanan minuman mereka tiba, menutupi rasa terkejut yang jelas tergambar di wajah Amaya.
Apa yang dibicarakannya? Bagaimana bisa kebetulan seperti ini terjadi? Tidak mungkin!
"Aku serius. Sejak awal, tidak ada kata putus di antara kami. Aku pergi sejenak, membiarkan Rava sadar pentingnya diriku, tetapi tiba-tiba kamu sudah menjadi istrinya," lanjut wanita itu sambil tertawa sedih. Tidak. Tawanya mengejek Amaya.
"Aku ... aku tidak tahu harus berkata padamu seperti apa," dengan tetap berusaha tenang Amaya menjawabnya.
"Lepaskan dia. Bukan, bukan hanya Rava. Lepaskan pria itu dan anak-anaknya. Sejak awal, Rava hanya terpaksa menikahimu."
"Ia mencintaiku."
"Kamu pasti bercanda. Jika kamu serius, kamu pasti tidak mengenal Rava dengan baik."
Kintan melanjutkan semua ceritanya. Tentang Rava yang tidak percaya cinta, tentang Rava yang membenci pernikahan, tentang Rava yang membenci orang tuanya, tentang sisi Rava yang tidak pernah Amaya ketahui. Untuk pertama kalinya wanita itu benar-benar merasa kalah.
"Aku pergi untuk memberinya waktu. Rava tahu itu dan hanya aku yang ia cintai serta percaya. Jadi, pergilah. Tinggalkan dia."
Makanan mereka sampai, tetapi Amaya tidak peduli. Tanpa membuang lagi waktu, wanita itu sudah berdiri. Lantas bersiap untuk pergi tanpa lupa menaruh beberapa lembar uang di atas meja.
"Aku akan selalu di sisinya. Itu janjiku pada Rava. Maaf, tetapi aku harus pergi sekarang," ucap Amaya sebelum akhirnya membalikkan tubuh. Dengan cepat wanita itu sudah berjalan menuju pintu keluar. Meninggalkan Kintan dengan amarah jelas di wajah.
.
.
Ditulis oleh: Penulisdsy
Vote, follow, dan komentar jangan lupa
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Behind The Wedding
Romance[Romance - 19+] Follow dulu, baru dibaca. -PRIA yang LICIK bagai RUBAH- Dari semua cerita dongeng aku paling benci dengan kisah putri tidur, karena ia mendapat bahagia hanya dengan tertidur. Ingin sekali aku membangunkan dan menyadarkannya bahwa ti...