"Terkadang kita membutuhkan banyak alasan untuk membenci seseorang. Namun, sebaliknya untuk mencintai seseorang kita hanya perlu menemukan satu alasan konyol yang bodoh"
*****
Sekarang Rava, Hilmi, Helen, dan Amaya duduk bersama dalam ruang tamu Helen. Tatap tajam Rava masih memperhatikan Amaya, sementara wanita yang ditatapnya itu hanya bisa pasrah menunduk. Merasa malu dan takut di saat yang sama.
"Saya minta maaf, Pak. Saya benar-benar merasa bersalah atas kesalah-pahamannya," ucap Amaya masih dengan tatap menunduk
"Maaf? Saya enggak mau menerima permintaan maaf. Saya mau Anda bertanggung jawab dan menyelesaikan semua masalah hingga tuntas. Termasuk juga dengan pembersihan image saya. Dan jika dalam dua puluh empat jam semua belum selesai, maka saya akan melayangkan tuntutan pada Anda atas pencemaran nama baik."
"Gila kamu, Rav. Enggak usah bawa-bawa tuntutan saat masalahnya masih bisa diselesaikan baik-baik," tegur Helen tiba-tiba.
"Aku enggak ada urusan sama kamu, Len." Rava masih fokus pada Amaya. Kembali membuka suara tanpa peduli dengan tatapan sinis Helen. "Pokoknya saya mau masalah ini clear. Saya tunggu sampai besok. Kalau sampai pemberitaan jelek tentang saya masih ada, maka saya enggak akan segan-segan untuk menuntut Anda."
Tepat di akhir kalimat Rava, tiba-tiba saja muncul dua orang anak kecil yang masuk ke dalam Rumah Helen dan membuat pandang mereka seketika tertuju pada kedua anak tersebut.
"Anak-anak itu ...."
"Kakak sama Adek ngapain ke sini?!" pekik Amaya membuat Rava sedikit terkejut karenanya.
"Habis Ibu enggak balik-balik. Dava kira Ibu ke rumah Tante Helen karena mau jenguk, jadinya kita juga ikut nyusul, deh," jawab Dava yang lantas membuat Amaya bangun dari tempat duduk dan segera menghampiri kedua anaknya.
Wanita yang kukatai sinting ini adalah Ibu dari kedua anak yang kutemui di restoran dua bulan lalu? Anak yang mukanya sangat mirip denganku?!
"Loh, ini 'kan Om bule yang dulu!" seru Hana dengan pipi chubby-nya sambil mengarahkan satu telunjuk pada Rava.
"Adek, enggak sopan nunjuk-nunjuk orang begitu."
"Tapi, Om ini memang yang dulu ketemu sama Kakak di parkiran, Bu. Yang matanya kaya awan mendung," lanjut anak perempuan itu tak mau kalah. Membuat Rava hampir tersenyum dibuatnya.
"Salah mungkin. Ayo, kita pulang ke rumah saja. Di sini, Tante sama Omnya lagi sibuk," ucap Amaya sambil menggendong anak perempuannya dan menggenggam tangan anak laki-laki yang saat itu masih memperhatikan Rava lekat.
"Maaf, saya harus pulang dulu. Dan untuk masalah kita, saya akan menyelesaikannya sampai selesai. Anda tidak perlu khawatir. Saya akan menjamin bahwa pemberitaan terhadap Anda tidak akan ada lagi besok. Permisi."
Wanita itu pergi. Meninggalkan tiga orang yang masih menuntut penjelasan lebih. Bukan. Tepatnya Rava yang masih ingin mengetahui lebih banyak. Bukan tentang masalah mereka. Namun, mengenai kebenaran anak yang dibawanya. Anak yang entah mengapa kehadirannya membuat Rava ingin mengakui bahwa ia adalah Ayahnya. Ayah mereka.
.
.
"Anak itu ... mereka siapa?" tanya Rava memecah keheningan setelah kepergian Amaya.
"Maksud kamu apa?" tanya Helen padanya.
"Anak yang dibawa teman kamu tadi, apa benar anaknya?"
"Lupakan soal anak. Lebih baik fokus saja ke masalahmu, Rav," sela Hilmi tiba-tiba.
"Kedua anak tadi, Mi. Anak yang aku ceritakan padamu! Anak yang kubilang sangat mirip denganku!"
"Jangan bercanda, Rav," sahut Hilmi tak percaya.
"Aku enggak akan bercanda untuk masalah seperti ini!"
"Tunggu, sebenarnya kalian sedang membicarakan apa?!" tanya Helen tidak mengerti pada dua orang pria di sisinya.
Rava yang merasa perlu mendapat kejelasan, lantas mulai menceritakan semuanya. Langsung meminta kembali kebenaran pada Helen setelah semua ucapnya selesai yang hanya dibalas diam oleh wanita itu.
"Kenapa hanya diam, Len?"
"Aku bingung, Rav. Semua ceritamu seperti enggak nyata. Tentangmu yang mirip dengan kedua anak itu saat kecil. Lalu, tentang mereka dan Amaya yang tiba-tiba terlibat dalam hidupmu. Memang kamu pikir aku harus menjawab seperti apa? Aku ... aku benar-benar tidak mengerti dengan keadaan ini."
"Kamu hanya perlu menjawab tentang Ayah anak-anak itu. Simpel dan mudah."
Helen yang sebelumnya menatap kosong lantai, langsung mengangkat kembali wajah. Melihat Rava dengan frustasi yang kentara.
"Mereka itu anak angkat Amaya. Aku dan dia juga enggak tahu siapa ayahnya. Puas kamu?"
Kali itu, giliran Rava yang terdiam. Matanya masih menatap lekat Helen, tetapi tidak dengan pikirnya.
"Jadi, maksudmu kedua anak tersebut tidak memiliki ikatan darah dengan wanita sinting itu?"
"Jaga mulutmu, Rav." Helen sudah mengerutkan dahi. Merasa tidak suka saat sahabatnya dikatai sembarang oleh orang lain.
"Ok, maaf. Aku terlanjur asal bicara. Kita kembali saja ke inti masalah. Jadi, wanita bernama Amaya tersebut memang tidak memiliki ikatan apa pun dengan kedua anak itu selain sebagai ibu angkatnya? Benar, bukan?"
Helen hanya bisa mengangguk dengan napas tertahan. Rautnya benar merasa tertekan sampai membuat Hilmi ikut bergabung dalam pembicaraan. Tidak ingin membiarkan Helen makin merasa pusing dengan situasi yang ada.
"Sekarang kamu mau gimana, Rav? Apa enggak sebaiknya kamu bertanya dulu pada Amaya dan meminta persetujuannya untuk melakukan tes DNA pada anak-anak itu."
"Tanpa tes pun aku sudah yakin bahwa mereka adalah anakku."
"Ia masih orang tua sahnya. Kamu tidak bisa bertindak sesukamu."
Hilmi memberi sedikit peringatan yang membuat Rava kembali sadar akan posisinya. Tidak, meski diperingati, tetapi Rava tidak akan menjalani semuanya sesuai dengan keinginan sahabatnya itu. Ia sudah membuat rencana. Rencana ... yang akan menyelesaikan semua masalah hidupnya.
.
.
Ditulis oleh: Penulisdsy
Vote, follow, dan komentar jangan lupa
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Behind The Wedding
عاطفية[Romance - 19+] Follow dulu, baru dibaca. -PRIA yang LICIK bagai RUBAH- Dari semua cerita dongeng aku paling benci dengan kisah putri tidur, karena ia mendapat bahagia hanya dengan tertidur. Ingin sekali aku membangunkan dan menyadarkannya bahwa ti...