"Bianglala memang bergerak di satu tempat sama. Tapi benda itu berputar. Berpindah dari atas sampai pada titik terbawah. Seperti hidup yang bisa manis atau pahit pada detik berikutnya."
.
.
"Tuan, ada telepon dari Pak Darmawan," sela seorang pembantu saat Rava sedang menonton TV di ruang tengah. Segera diambil gagang telepon tersebut dan dengan satu gerakan tangan ia meminta wanita itu untuk pergi.
[Halo?]
[Di mana ponselmu kamu buang, Rav?! Dari tadi aku menghubungi tetapi tidak ada satu pun yang kamu angkat!]
[Entahlah, mungkin tertinggal di suatu tempat.]
[Tertinggal? Jangan bilang kalau kamu masih melakukan kebiasaan burukmu itu?! Mengaku saja bahwa kamu meninggalkannya di hotel.]
Benarkan. Pikiran kakek tua ini masih tetap tajam.
[Berhentilah untuk ikut campur masalahku.]
[Berhenti katamu?! Ingat! Jika sampai masalah ini tersebar pada media, maka reputasi perusahaan kita bisa terancam! Apa kamu mengerti, Rav?!]
Hanya ada perusahaan saja di otak sempitnya itu. Perlukah aku mengirim tua bangka ini ke panti jompo? Tidak. Kakek masih terlalu sehat dan waras untuk mau tinggal di sana.
[Kenapa diam saja?! Kamu mendadak bisu, Rav!]
[Aku malas meladeni kakek yang terus berteriak tanpa alasan jelas. Langsung to the point saja, sebenarnya apa lagi yang kakek mau dariku?!]
[Pergilah ke Restoran Aleana nanti malam. Aku sudah mengatur sebuah pertemuan dengan salah seorang putri dari kenalanku. Aku mulai bosan melihatmu bersenang-senang seperti orang bodoh.]
[Pukul berapa?]
[Tujuh malam. Jangan sampai telat dan jaga sikapmu di sana. Aku tidak terima keluhan jika sampai sikapmu nanti mengecewakannya.]
Pip!
Dengan satu gerakan, Rava memutuskan sambungan. Melempar asal gagang telepon berwarna putih itu. Balik bersantai di tengah nyaman sofa miliknya.
Perjodohan katanya? Ia sepertinya ingin sekali mengikat dan membatasi gerakku. Dia pikir aku ini hanya akan diam menerima semuanya. Mengancam wanita-wanita itu dengan kuasa yang kumiliki bukan hal sulit. Termasuk dengan menjatuhkan perusahaan orang tua para calon pengantinku.
Dengan enggan, pria itu melirik jam digital yang terletak tak jauh dari meja TV. Angka-angka yang terlihat di layar hitamnya menunjukkan pukul tiga.
"Masih ada beberapa waktu lagi sebelum pertunjukkan dimulai. Baiklah, sepertinya kali ini aku harus pula bersandiwara dan membuat seseorang menangis," katanya dengan amat percaya diri. Menaikkan satu sudut bibirnya. Membentuk senyum seram tanpa hati seperti biasa. Ya ... seperti biasanya.
.
.
"Anda berani berkata tidak sopan pada saya?" tanya seorang wanita cantik yang duduk tepat di depan Rava.
Wajah wanita itu benar-benar elegan dan menarik mata di saat yang sama. Kulit berkilau karena perawatan. Bulu mata lentik yang tampak natural. Dan bibir tipis merah muda yang terlihat amat pas di tengah wajah ovalnya.
"Saya tidak merasa berkata tidak sopan pada Anda. Saya hanya berkata yang sebenarnya. Memang benar perusahaan Anda sedang dalam keadaan tidak baik, bukan? Terlebih karena adanya pergantian minat konsumen pada segala macam fasilitas digital. Jadi, tidak perlu lagi bersikap angkuh di depan saya," jawab Rava sembari tersenyum. Namun, bukan kehangatan yang dapat terlihat dari senyumnya itu, melainkan kesan merendahkan yang amat kentara.

KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Behind The Wedding
Storie d'amore[Romance - 19+] Follow dulu, baru dibaca. -PRIA yang LICIK bagai RUBAH- Dari semua cerita dongeng aku paling benci dengan kisah putri tidur, karena ia mendapat bahagia hanya dengan tertidur. Ingin sekali aku membangunkan dan menyadarkannya bahwa ti...