Bab 25

55.5K 3K 17
                                    

"Pada kisah gadis berkerudung merah, diceritakan bahwa serigala berusaha untuk memakan gadis itu. Namun, bagaimana kalau kisah itu salah? Bagaimana jika sejak awal serigala telah jatuh cinta pada gadis tersebut? Mungkin, sebenarnya, keduanya lari untuk melindungi kisah cinta mereka. Cinta bodoh yang tampak tak nyata dan sulit untuk diingkari"

*****

Amaya perlahan membuka mata. Kepalanya masih terasa berat, membuat wanita itu meringis sedikit saat bangun dari tidur.

"Apa yang terjadi padaku?" gumamnya bingung.

Seakan ingin meminta kejelasan lebih, Amaya mulai mengedarkan pandang. Berusaha mencari Rava yang pasti dapat memberikan penjelasan padanya.

Namun, dicari dengan sangat teliti pun, tetap saja Amaya tidak dapat menemukan suaminya itu. Merasa ditinggal seorang diri, pada akhirnya Amaya memilih untuk minum lebih dahulu. Lantas berjalan ke arah kulkas dan mencari sebotol air.

Setelah dinginnya air berhasil membasahi kerongkongan Amaya, maka dalam sekejap kesadaran wanita itu kembali pulih seutuhnya.

"Wah, segarnya. Ternyata memang benar, minum air di pagi hari dapat membuat manusia kembali merasa hidup," ucapnya sambil memandang botol air di tangan.

Diletakkan balik botol tersebut pada tempatnya, kemudian dengan sisa usaha, Amaya kembali mencari Rava, meski hasilnya nihil. Selain bekas selimut yang masih tergeletak berantakan di atas sofa, tidak ada lagi yang bisa wanita itu temukan.

"Sepertinya tadi malam Rava tidur di sofa," lanjut Amaya pada diri sendiri.

Mengabaikan kebingungannya, Amaya memutuskan untuk segera mandi saat itu. Langsung bergegas menuju kamar mandi agar bisa membersihkan seluruh dirinya yang terasa lengket.

Entah mengapa mandi pagi saat itu benar-benar terasa lebih menyegarkan dibanding hari biasanya. Mungkin akibat tidak membersihkan diri semalaman, jadi kegiatan simpel seperti mandi saja dapat lebih berarti bagi tubuhnya. Terlalu berarti sampai membuat Amaya lupa untuk membawa pakaian ganti. Beruntung, tidak ada Rava di sana, membuatnya dapat bebas berjalan di kamar meski hanya mengenakan kimono mandi.

Tanpa segan, Amaya lantas berganti pakaian tepat di luar. Menjatuhkan kimono. Memakai celana dalam. Kemudian bra dan—

Kriet!

Suara pintu terbuka, membuat Amaya langsung menoleh ke arah pintu kamarnya. Lantas melebarkan kedua mata dengannya sempurna ketika menemukan Rava sedang melihat balik dirinya dengan raut tidak kalah terkejut.

Sedetik, dua detik, dan baru pada detik ketiga pintu itu kembali ditutup oleh Rava. Memberi lagi ruang bagi Amaya untuk dapat melanjutkan acara ganti bajunya.

Ah, sial! Aku benar-benar terlihat seperti orang bodoh sekarang! jerit batinnya sambil kedua tangannya masih sibuk memakai sebuah kaos serta celana training dengan cepat.

"Huh, tenang, Amaya," gumam wanita itu sembari menarik napas. Lantas satu tangannya terangkat, kemudian membuka pintu dengan satu gerakan.

"Argh!" teriak Rava refleks.

Tepat setelah pintu dibuka, tubuhnya yang sedang bersandar langsung terjatuh masuk, menimpa mungil tubuh Amaya dalam sepersekian detik.

"Bangun, Rav! Aku tertimpah!" pinta Amaya setengah merintih.

Mendengar komplain tersebut, membuat Rava langsung menjauh dari wanita itu dengan terburu. Kemudian, langsung membantu Amaya untuk bangun dan duduk berhadapan dengannya.

"Kamu tidak apa-apa?"

"Ah, tidak. Aku sudah baik-baik saja sekarang."

Jawaban Amaya menutup pembicaraan mereka. Sementara wanita itu terus menundukkan wajah, Rava hanya bisa diam sambil mengamati lekat Amaya.

"Kenapa menunduk seperti itu?" tanyanya lirih.

"Aku merasa bersalah padamu."

"Memang kamu tahu kesalahanmu, May?"

"Membuatmu melihat pemandangan yang kurang menyenangkan."

"Lalu?"

"Menjatuhkanmu dari pintu."

"Ada lagi?"

"Mabuk dan membuat kekacauan?" tanya Amaya bukan lagi memberi pernyataan.

"Kamu ingat kejadian semalam?"

Kedua tangan Rava sudah memegang erat bahu istrinya, membuat wanita itu langsung balik melihat dirinya.

"Aku hanya bisa ingat sampai saat kamu pergi mengangkat telepon. Kemudian, ada seseorang yang tiba-tiba datanga dan membelikanku mocktail lagi dengan rasanya yang lebih kuat. Setelahnya, aku tidak ingat la—"

Penjelasan Amaya terpotong begitu Rava mendorong tubuhnya dengan tiba-tiba. Membuat pria itu kini berada tepat di atas istrinya, sambil kedua tangannya mengenggam kuat pergelangan tangan Amaya.

"Kamu sedang apa?" tanya Amaya dengan napas tercekat. Debar jantungnya sudah bergemuruh tidak karuan, sementara bulat matanya melebar sempurna.

"Apa kamu bodoh, May?! Kenapa menerima minuman dari orang yang tidak kamu kenal?! Jika saja aku sampai terlambat, mungkin kemarin malam pria-pria itu sudah menidurimu seperti saat ini."

Suara Rava yang terdengar marah itu sudah menggema di dalam kamar. Terdengar keras dan terkesan jijik di saat yang sama.

"Maaf."

Hanya satu kata tersebut yang bisa Amaya ucapkan saat itu. Ia ikut merasa jijik saat membayangkan kemungkinan tersebut. Menjadi takut sampai air matanya sudah mengalir melalui sudut-sudut mata tanpa bisa wanita itu cegah.

Melihat lemah Amaya, membuat sirna amarah Rava. Pria itu sekarang sudah menjadi sangat khawatir. Lantas memeluk istrinya tersebut, berharap agar Amaya bisa lebih tenang.

"Jangan pernah lagi mengulangi kesalahan yang sama. Kumohon," pinta Rava tulus.

"Hiks! Terima kasih karena kamu sudah datang tepat waktu."

Untuk sesaat mereka saling membagi kehangatan satu sama lain. Bertindak seakan waktu berhenti. Ingin meresapi lebih lama momen yang hanya dimiliki keduanya itu.

.

.

Ditulis oleh: Penulisdsy

Vote, follow, dan komentar jangan lupa

[End] Behind The WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang