"Sejak awal aku takut terjebak dalam tatapan matamu. Aku sadar semua ini salah. Sekarang semua sudah terlambat. Jadi, biarkanlah aku pergi dengan tenang"
*****
Amaya ingin membuka mata. Namun, sekujur tubuhnya terasa lemas. Pinggangnya sakit dan kaku. Wanita itu benar-benar tak berdaya. Samar-samar ia mendengar suara pria itu. Pria yang sosoknya sangat jelas di benak Amaya. Rava. Bahkan dalam sakitnya, Amaya masih sangat mudah mengenali keberadaan Rava di sisinya.
"Jangan beritahu Amaya," suaranya terdengar memohon.
"Aku takut kehilangan dirinya," lanjutnya.
"Amaya berhak tahu, Rav. Itu janinnya. Anaknya. Kamu tahu sendiri Amaya sangat sayang pada anak-anak. Ia berhak tahu semuanya," itu suara Helen, tetapi Amaya tak mengerti maksud perkataannya.
"Amaya akan langsung meninggalkanku. Tidak, Amaya pasti pergi meninggalkanku jika ia tahu bahwa ia keguguran karenaku!" Rava sudah setengah berteriak. Membuat Amaya sangat jelas mendengar setiap perkataan pria tersebut.
Dengan mata kanan setengah terpejam, Amaya menatap sedih punggung Rava. Pria itu membelakanginya, membuat ia tak tahu bahwa Amaya mendengar semuanya. Membuatnya tak sadar bahwa hati Amaya menangis, tanpa suara dan air mata. Dalam keadaan terlemahnya, semua berjalan semakin salah.
Helen adalah orang pertama yang menyadari bahwa Amaya sadar. Ia kaget, tetapi suaranya tidak dapat keluar. Rava yang sadar dengan perubahan raut wajah Helen, mengikuti arah mata wanita itu. Tepat saat ia membalikkan wajahnya, matanya bertemu dengan mata Amaya. Jantungnya serasa berhenti. Waktu terasa memelan. Perlahan, air mata mengalir mulus membasahi pipi pucat wanita itu.
Semuanya berakhir. Rava sadar ia telah sepenuhnya kehilangan wanita itu. Sama seperti Ayahnya, pahitnya cinta harus juga dirasakan oleh Rava. Sejak awal, cinta memang terlalu mewah baginya.
.
.
Setiap hari, Rava menunggui Amaya. Namun, setiap hari itu pula ia seperti melihat sosok yang berbeda. Tidak ada lagi Amaya yang tertawa untuknya. Tidak ada pula Amaya yang selalu memeluk hangat dirinya. Yang ada hanyalah Amaya yang selalu menangis untuknya.
Hampir setiap hari wanita itu menangis. Suara tangisnya membuat Rava merasa tercekat dan ikut sulit bernapas. Apa pun yang ia katakan terasa percuma. Amaya sama sekali tidak mendengarnya. Bahkan ada satu hari, saat istrinya itu meronta-ronta, berkata ingin membunuh dirinya sendiri, sambil mengacungkan pisau ke arah lengannya.
Rava masih mengingat kejadian itu dengan sangat jelas. Bagaimana para dokter berhasil menghentikan Amaya. Bagaimana gemetarnya tangan kecil itu menggengam pisau, membuat Rava ikut menangis melihatnya.
Hari itu, ia kembali lagi ke rumah sakit. Sebelumnya, Rava terpaksa pulang, karena mertuanya meminta Rava untuk sedikit memberi waktu bagi dirinya dan Amaya. Ia juga tidak boleh melupakan anak-anak. Ia tidak ingin, anak-anaknya ikut mengalami perasaan dilupakan oleh orang tua seperti yang dialami dirinya dahulu.
Hana dan Dava tak hentinya menanyai kabar Ibunya, yang hanya bisa dijawab seadanya oleh Rava. Dokter masih belum membolehkan Amaya untuk menemui anak-anak. Kondisinya masih belum stabil. Wanita itu masih perlu banyak waktu untuk menenangkan diri.
Seikat bunga daisy tak lupa dibeli Rava saat perjalanan pergi ke rumah sakit. Bunga favorit Amaya. Bodoh mungkin, tetapi Rava sungguh berharap hati Amaya sedikit menenang saat melihat bunga tersebut.
Sesampainya di depan pintu kamar Amaya, pria itu tidak langsung masuk ke dalam. Ia sedikit ragu dan takut. Biasanya Rava hanya menunggui dari luar kamar, karena Amaya akan langsung menangis histeris saat melihatnya. Kali itu Rava juga takut hal yang sama akan terjadi kembali. Takut wanita itu akan kembali menyakiti dirinya sendiri.
Dengan satu gerakan pelan, pria itu menggeser pintu kamar. Wanita itu tidak lagi menangis. Sebaliknya, Amaya kini duduk terdiam membelakangi dirinya. Rava memberanikan diri untuk melangkah, mendekati istrinya. Gerakannya terhenti, saat tiba-tiba, Amaya membalikkan badan, menghadapnya.
Matanya bengkak. Jelas. Wajahnya terlihat lebih kurus. Rona merah pipinya juga menghilang. Wajah cantiknya masih sangat jelas ada di sana. Namun, mata wanita itu benar-benar terlihat kosong dan hampa.
Sedetik. Dua detik. Tidak ada sama sekali yang membuka suara di antara mereka.
"Aku membawa bunga."
Amaya tetap menatap Rava, tidak peduli pada bunga yang dibawanya. Samar, wanita itu akhirnya membuka suara.
"Ceraikan aku."
.
.
Pria itu terdiam. Wanita di hadapannya kembali memunggunginya.
"Sejak awal, kita tidak harus bertemu. Aku memberikan semuanya untukmu. Jadi ...."
Suara wanita itu terhenti. Ia tercekat dalam tangisnya.
"Biarkan aku pergi. Aku ... aku tidak ingin lagi menderita karenamu."
Pria itu mematung. Wajah kakunya tetap melihat punggung istrinya tanpa berkedip. Dalam diam, ia menangis. Pria itu tahu, ia harus merelakan istrinya. Cinta pertama dan terakhirnya, ternyata sangat sulit untuk digenggam.
.
.
Ditulis oleh: Penulisdsy
Vote, follow, dan komentar jangan lupa

KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Behind The Wedding
Romance[Romance - 19+] Follow dulu, baru dibaca. -PRIA yang LICIK bagai RUBAH- Dari semua cerita dongeng aku paling benci dengan kisah putri tidur, karena ia mendapat bahagia hanya dengan tertidur. Ingin sekali aku membangunkan dan menyadarkannya bahwa ti...