"I had nothing. But thanks to the scars you gave me. I became the main character in a sad love story. Thanks to the fear you gave me, i'm forever in this sad love story."
*****
-Flashback-
[Ada apa lagi?]
[Aku akan bertemu Rava dan bukan pertemuan biasa]
[....]
[Aku tidak peduli] lanjut Amaya setelah terdiam sesaat.
[Kamu bukan tidak peduli, tetapi tidak percaya tepatnya]
[....]
Kintan benar. Amaya memang berusaha menyangkal semua kemungkinan. Ingin tetap memegang teguh janji Rava padanya.
[Buktikanlah] tantang Kintan.
[Apa maksudmu?]
Tanpa memberi alasan lebih jelas, wanita itu sudah menyebutkan alamat apartemen, waktu pertemuan, serta berjanji mengirimkan duplikat kunci apartemennya. Selanjutnya, panggilan itu pun terputus.
Berkat ucapan Kintan hari itu, Amaya jadi tidak bisa fokus dengan seluruh pekerjaannya. Terlebih, saat duplikat kunci apartemen wanita itu benar-benar dikirim ke kantor Amaya, membuat semuanya semakin rumit.
Ia berusaha menghilangkan segala ketakutannya, tetapi Rava dengan tiba-tiba saja mengabari untuk pulang telat. Urusan kantor katanya. Namun, Amaya kini yakin alasan sebenarnya adalah untuk bertemu Kintan.
Otaknya berusaha sekuat mungkin untuk percaya kepada Rava, meski tidak dengan hatinya. Pada akhirnya, Amaya memutuskan untuk membuktikan bahwa semua ucapan Kintan hanyalah bohong belaka.
Sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, Amaya datang ke apartemen wanita itu. Untuk sejenak, ia terdiam di depan pintu apartemen. Merasa takut dan ragu di saat yang sama.
Sampai akhirnya, Amaya memberanikan diri. Sudah membuka pintu sembari terus merapal doa di dalam hati. Berharap tidak ada Rava di dalam sana.
Namun, doanya tidak menjadi nyata. Semua sudah jelas saat itu. Di depan matanya, Rava terlihat bercumbu dengan Kintan. Sejak awal, tampaknya kebahagian hanyalah ilusi untuknya. Takdir Amaya adalah untuk selalu menangis. Hujan yang selalu menangis, itulah dirinya.
Semua terjadi begitu cepat. Ia lantas pergi meninggalkan keduanya. Meninggalkan semua ketakutan yang menjadi nyata. Sungguh ironi.
-Flashback End-
.
.
Rava berusaha mengejar wanita itu. Meski terlambat, karena Amaya terlalu cepat menghilang dari hadapannya. Dengan panik, ia nyalakan mesin mobil, pulang ke rumah, berharap menemukan istrinya di sana.
Namun, Rava salah. Tidak ada jejak Amaya di rumah. Hanya ada anak-anak dan para pelayan. Melihat Rava yang tegang, membuat Hana dan Dava ikut menanyakan keadaan ayahnya tersebut, serta keberadaan Ibunya yang belum tiba di rumah.
Pria itu hanya bisa menenangkan kedua anaknya, meminta Mbak Yuni untuk menjaga kembali anak-anak karena ia harus terlebih dahulu menemukan istrinya.
Semuanya ia lakukan. Menanyai seluruh orang terdekat Amaya, mencari kembali wanita itu di kantor, hingga pergi menemui Ayah Amaya. Hasilnya sama. Tidak ada yang tahu keberadaan wanita itu. Karena ketegangan Rava, justru semua orang bertanya-tanya akan hal yang terjadi yang dijawab seadanya oleh Rava.
Pria itu tidak tahu lagi harus apa. Ia melapor kepada polisi, tetapi tidak ada yang bisa ia harapkan. Istrinya bahkan belum dapat dikatakan menghilang. Bahkan walaupun pria itu akan mengeluarkan sebanyak apa pun uang yang dimilikinya, tetap saja polisi tidak dapat memproses lebih lanjut laporannya.
Rava frustasi dan berusaha menyalahkan semuanya. Pukul satu pagi, ia baru pulang ke rumah. Keadaanya kacau. Untuk pertama kalinya ia merasa kehilangan. Merasa takut, patah hati, dan bingung. Cinta benar-benar membuatnya terpuruk. Malam itu, Rava menangis dengan berat.
.
.
Wanita itu menangis. Terus dan terus tanpa henti. Ia merasa semuanya hancur. Bahkan walaupun Ragil meninggalkannya, sakitnya tidak sekuat ini.
Tanpa sadar, cintanya pada Rava sudah terlalu dalam. Semua sudah terlambat. Sejak awal tidak ada lagi jalan kembali. Wanita itu menahan napas. Tidak. Ia memang tidak dapat bernapas. Bagaimana bisa ia tetap hidup saat jiwanya sakit? Sepanjang malam, wanita itu terpuruk dalam patah hatinya.
.
.
Tiga hari terlewati dan Rava tetap tidak mampu menemukan Amaya. Ia bahkan tidak bekerja untuk mencari wanita itu. Amaya bagai mimpi yang menghilang tanpa jejak. Dunianya memburam. Seperti orang penyakitan, Rava tidak lagi dapat bertindak rasional.
Sebuah panggilan membuat kesadarannya kembali. Helen mengabarinya bahwa Amaya mungkin saja berada di rumah Ragil. Helen yakin, hanya Ragil yang bisa membantunya saat itu. Kesedihan Rava seketika menjadi kemarahan.
Berbekal alamat yang diberikan Helen, Rava melajukan mobilnya untuk menemui Ragil. Sepi, itu kesan pertama yang didapat Rava saat tiba di rumah dengan tampilan sederhana yang tenang, tanpa menunjukkan keberadaan orang di dalamnya.
Pria itu melangkah masuk ke dalam pekarangan. Tidak ada penjaga yang menjaga dan pintu gerbang pun terbuka. Ia mengetuk pintu, tetapi tidak ada yang menjawab. Rava melihat sekeliling dan menimbang kembali apakah ia harus pulang atau tetap menunggu di sana. Pikirannya buyar saat samar-samar mendengar suara dari arah belakang rumah.
Pria itu melangkah, mencari tahu asal suara yang ia dengar dan ia menemukannya. Tidak perlu masuk ke dalam rumah untuk sampai ke belakang halaman. Semuanya terhubung dengan pekarangan depan. Itulah sebabnya Rava sekarang dapat melihat Amaya yang terduduk menangis di sebuah ayunan dengan Ragil yang berusaha menenangkan.
Seketika amarah menguasainya. Ia menghampiri pria itu dan memukul keras wajahnya. Amaya sudah berteriak, tetapi Rava tidak lagi mampu mengendalikan diri. Terus memukuli Ragil dan sebaliknya pria itu juga kembali membalas pukulan Rava. Tidak ada yang mengalah di antara mereka.
Amaya tetap berusaha menahan Rava. Namun, gagal. Tanpa sengaja, Rava mendorong Amaya, membuat tubuh wanita itu terhempas dan membentur pohon dengan keras. Darah mengalir dari tubuh wanita itu, membuat kesadaran Amaya menghilang. Ragil terdiam dan tampak shock melihat kondisi itu, sedang Rava segera berlari menghampiri Amaya. Berusaha menjaga kesadarannya dan membawa istrinya tersebut segera ke rumah sakit.
Sepanjang perjalanan, pria itu berdoa. Darah yang keluar dari tubuh Amaya semakin banyak. Wanita itu mengalami pendarahan dan memucat. Pria itu memaki siapa pun yang menghalanginya, menyalip setiap kendaraan, dan melajukan mobil secepat mungkin.
.
.
Rava terdiam di bangku tunggu Rumah Sakit. Sekarang Amaya berada di ruang ICU. Masa kritis wanita itu sudah lewat, tetapi Rava masih tidak dapat berpikir waras. Jantungnya masih berdetak tidak karuan memikirkan kondisi Amaya.
Dokter yang menangani wanita itu telah menjelaskan semuanya pada Rava. Amaya telah kehilangan janinnya. Pendarahan yang terjadi, tak lain disebabkan karena ia keguguran.
Kesadaran Rava baru kembali, saat mertuanya menepuk keras bahunya. Ayah Amaya tampak tak kalah kacau dari Rava. Pria itu tampak lusuh dengan pakaian seadanya dengan napas yang masih tersengal-sengal. Ia menanyakan kondisi Amaya pada Rava.
Air matanya tanpa disadari keluar. Rava menangis. Semuanya. Ia memberitahu seluruh ceritanya pada orang tua itu. Dengan saksama didengarkan seluruh ucapan menantunya itu oleh Hardian. Ucapan yang lebih terdengar bagai pengakuan dosa. Pria tua itu tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa ikut menangis bersama Rava. Menangis karena mendapati takdir kejam yang menimpa anak perempuannya.
.
.
Ditulis oleh: Penulisdsy
Vote, follow, dan komentar jangan lupa

KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Behind The Wedding
Romance[Romance - 19+] Follow dulu, baru dibaca. -PRIA yang LICIK bagai RUBAH- Dari semua cerita dongeng aku paling benci dengan kisah putri tidur, karena ia mendapat bahagia hanya dengan tertidur. Ingin sekali aku membangunkan dan menyadarkannya bahwa ti...